INOVASI
DAN FILOSOFI #BatikIndonesia
Dari warnanya, dari
susunan titiknya, semua dapat bercerita dan bertutur. Tuturnya sarat dengan
filosofi, doa, dan harapan. Semuanya disampaikan dengan manis dalam bentuk
rangkaian titik membentuk pola dan motif yang diikat dengan warna sarat makna.
Tidak hanya doa, harapan, dan filosofi, lewat tutur cerita selembar kain batik,
kita juga bisa mengetahui kehidupan sosial sekelompok masyarakat. Mulai dari
sejarah, keadaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya suatu daerah serta suatu
masyarakat pada suatu zaman dapat kita ketahui dari selembar kain batik (Ramadhan,
2013).
Pada awalnya batik
hanya dibuat di kalangan kerabat keraton dan hanya dikenakan oleh keluarga
kerajaan dan punggawa. Punggawa keraton yang tinggal di luar istana inilah yang
membawanya ke luar. Keluarga mereka membuatnya di tempat mereka masing-masing.
Lama-kelamaan seni batik ditiru olah masyarakat umum dan selanjutnya menjadi
pekerjaan kaum wanit di waktu senggang. Lambat laun, batik yang tadinya hanya
dikenakan oleh keluarga kerajaan, menjadi pakaian rakyat yang disukai wanita
ataupun pria. Kain putih yang digunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Bahan pewarnanya dibuat dari tumbuhan asli Indonesia, seperti Tarum, Soga, dan
Mengkudu, yang dicampur dengan soda abu dan lumpur (Wahyu, 2012).
Masuknya batik dalam
industri berawal dari
batik yang dianggap sebagai kebudayaan yang kemudian di tumbuh kembangkan. Didukung dengan
ditetapkannya Hari Batik Nasional pada
tanggal 2 Oktober 2009
oleh Badan PBB yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan,
dan Kebudayaan (UNESCO) secara resmi
mengakui batik Indonesia sebagai
warisan budaya dunia. UNESCO memasukkan batik
dalam Daftar Representatif Budaya
Takbenda Warisan Manusia. Pengakuan terhadap
batik merupakan pengakuan internasional
terhadap mata budaya Indonesia (Sya’diyah, 2013). Efek modernisasi
ini timbul karena visi
dan misi membatik
yang berubah menjadi tuntutan
ekonomi (Melinda dan Canadarma, 2014).
Menurut tasawuf Jawa,
warna-warna tertentu untuk sebuah lambing, sebagaimaa yang diyakini,
menggambarkan kondisi jiwa (nafs) seseorang. Misalnya warna hitam digunakan
untuk mewakili bumi, perlambang sifat jiwa lawwamah,
merah untuk unsure api bersifat jiwa amarah. Kuning menggambarkan sifat jiwa sufiah (bak budi), sedangkan warna putih
memberikan arti sifat jiwa mithmainah (tenang). Oleh karena itu kita akan
memperoleh makna yang lebih dalam dari sekadar indahnya motif dan keserasian
tata warna bila kita memahami makna di balik warna dan visualisasi symbol yang
terlukis pada kain batik. Dengan demikian rasa apresiasi kita terhadapa seni
budaya batik pun meningkat (Azra et. al., 2008).
Beberapa motif batik
hanya dipakai untuk acara tertentu, seperti pernikahan. Misalnya batik
sidomukti dikenakan oleh mempelai, sedangkan batik mernotif truntum dipakai
oleh orang tua pengantin. Pemakaian batik bermotif tertentu ini memiliki arti
dan makna tersendiri, penamaan batik sidomukti misalnya, diambil dari kata “sido”
yang berarti menjadi dan “mukti” yang artinya berkecukupan. Makna pemakaian
batik sidomukti adalah pengharapan agar kehidupan mempelai nantinya bahagia dan
berkecukupan (Dani, 2010). Selain Sido Mukti terdapat pula motif Sido Asih yang
maknanya hidup dalam kasih saying. Masih ada lagi motif Sido Mulyo yang berarti
hidup dalam kemuliaan dan Sido Luhur yang berarti dalam hidup selalu berbudi
luhur. Ada pula motif yang bukan sawitan kembar, tetapi biasanya dipakai
pasangan pengantin yaitu motif Ratu Ratih berpasangan dengan Semen Rama, yang
melambangkan kesetiaan seorang istri kepada suaminya. Sebenarnya masih banyak
lagi motif yang biasa dipakai pasangan pengantin, semuanya diciptakan dengan
melambangkan harapan, pesan, niat dan itikad baik kepada pasangan pengantin
(Lestari, 2012).
Inovasi
Batik untuk Menghadang Batik Cina
Inovasi merupakan faktor penentu
dalam persaingan industri
dan merupakan senjata yang
tangguh menghadapi persaingan (Hartini, 2012). Inovasi organisasi dapat
diinterprestasikan secara luas dan bervariasi dengan berbagai cara. Inovasi merupakan pemberian
solusi baru yang
dapat memberikan nilai pada
pelanggan. Inovasi sebagai fenomena psikologi dan sosial budaya, kedua aspek
tersebut dapat merupakan kunci keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi
(Daghfous et. al. cit. Hartini, 1999).
Inovasi desain produk menjadi benteng efektif membendung gempuran produk impor.
Di sisi lain, penyadaran menggunakan produk dalam negeri harus terus
digencarkan.
Proses produksi batik
kini telah bergeser dari yang sifatnya teknis ke kreativitas, karena kualitas
dan daya tarik batik terfokus pada motif. Motif batik bisa pada jenis bahan
yang digunakan, pola, tata warna, ciri-ciri dan atau pengembangan (Poerwanto
dan Sukirno, 2014). Nilai filosofis batik bisa dipertahankan dengan menciptakan
motif baru dengan pakem-pakem yang sudah ada. Tanpa variasi dan modernisasi
batik akan terkesan monoton, dan tidak bisa bertahan membudaya sampai saat ini.
Mempertahankan
Filosofis Batik
Kreatifitas para
desainer dalam mengolah kain batik menjadi suatu busana layak pakai dan bisa
dikenakan oleh semua orang menjadi suatu keahlian yang terus-menerus
dikembangan. Maka tak heran, kini beragam batik bernafaskan modern hadir untuk
memenuhi selera pasar. Namun sejatinya, setiap ragam kain batik memiliki nilai
cerita atau filosofi yang terkandung di balik motifnya. Misalnya saja motif
batik kawung yang memiliki makna subur dan batik udan liris sebagai tanda
membawa rejeki. Sedangkan batik truntum yang merupakan ketentraman, dan kembang
kenikir yang bermakna penolak bala. Filosofi di balik motif ini menjadi pedoman
untuk mengolah kain batik menjadi suatu hal baru yang bisa dimodifikasi. Pakem-pakem
dalam menciptakan motif batik modern juga harus diperhatikan oleh desainer
(Sari, 2015).
SUMBER PUSTAKA
Ramadhan, I. 2013.
Cerita Batik. Literati. Tangerang.
Wahyu, A. 2012. Chic in
Batik. PT Penerbit Erlangga Mahameru. Jakarta.
Sya’diyah, S. 2013. Pengrajin
Batik di Era Modernisasi (Studi Industri Kecil Batik Dewi Brotojoyo di Desa
Pilang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen). http://download.portalgaruda.org/article.php?article=108305&val=4071.
Diakses tanggal 10 Oktober 2016.
Melinda, M. dan W. W. Canadarma. 2014. Fasilitas
Eduwisata Batik Madura di Tanjung Bumi, Madura. JURNAL eDIMENSI ARSITEKTUR Vol.
II . No. 1 : ) 166-173.
Azra, A., J. D. Rahma,
K. Hidayat, dan P. Widjanarko. 2008. Reinventing Indonesia :
Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Mizan Pustaka. Bandung.
Dani, I. R. 2010. Cantik
Bergaya dengan Batik & Tenun. Penebar Plus+. Jakarta.
Lestari, S. D. 2012.
Mengenal Aneka Batik. PT Balai Pustaka. Jakarta.
Hartini, S. 2012. Peran
Inovasi: Pengembangan Kualitas Produk dan Kinerja Bisnis. Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan Vol.14, No. 1 : 82−88.
Poerwanto dan Z. L.
Sukirno, 2012. Inovasi Produk dan Motif Seni Batik Pesisiran Sebagai Basis
Pengembangan Industri Kreatif dan Kampung Wisata Minat Khusus. Jurnal AL-AZHAR
INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL, Vol. 1 No. 4 :217-229.
http://www.kemenperin.go.id/artikel/9673/Inovasi-Produk-untuk-Menghadang-Impor
Sari, I. K. 2015. Chitra
Subyakto & Populo Batik, Modernisasi Motif Batik Tanpa Lupakan Pakem. http://wolipop.detik.com/read/2015/10/02/115119/3033925/233/chitra-subyakto--populo-batik-modernisasi-motif-batik-tanpa-lupakan-pakem.
Diakses tanggal 10 Oktober 2016.
https://vitoz89.wordpress.com/2009/07/16/antara-nilai-filosofis-batik-tradisional-dan-inovasi-batik-modern/
0 komentar :
Post a Comment