Haji dengan Uang Haram
Tanya: Apa hukum haji dengan uang hasil korupsi?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Haji merupakan ibadah yang menggabungkan antara kemampuan fisik dan
finansial. Dua kemampuan ini menjadi syarat wajibnya haji. Allah
berfirman,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran: 97).
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang makna istitha’ah dalam ayat di atas. Lalu beliau menjawab,
الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ
“Bekal dan kendaraan.” (HR. Turmuzi 818, Ibn Majah 2897, dan dinilai dhaif sekali oleh al-Albani)
Namun pada prinsipnya, kemampuan finansial menjadi bagian penting dalam haji.
Kaitannya dengan ini, kita hendak menyimpulkan bahwa haji adalah ibadah badaniyah dan maliyah.
Karena ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba ketika beribadah, ulama membaginya menjadi 3,
Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.
Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.
Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.
Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan
harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.
Sebagian ulama memberikan satu kaidah, ibadah maliyah tidak diterima jika diambilkan dari harta yang haram.
Dr. Abbas Ahmad al-Baz menjelaskan,
العبادة المالية لا تكون مقبولة عن الله تعالى الا إذا كانت من مصدر كسب مشروع، لأن ثمرة الحلال حلال؛ وثمرة الحرام حرام
Ibadah maliyah tidak diterima di sisi Allah ta’ala, kecuali jika dari
sumber usaha yang diizinkan syariat. Karena hasil dari yang halal
adalah halal dan hasil dari sumber yang haram adalah haram. (Ahkam
al-Mal al-Haram, hlm 291).
kadiah ini berdasarkan hadis,
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah dari
harta ghulul (HR. Muslim 224, Nasai 139, dan yang lainnya).
Karena Allah hanya menerima zakat, infak, dan sedekah dari harta yang baik dan halal.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ،
وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا
بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ
فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَل
Siapa yang bersedekah dengan sebiji korma yang berasal dari usahanya
yang halal lagi baik, Allah tidak menerima kecuali dari yang halal lagi
baik, maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan
kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharnya untuk pemiliknya
seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak
kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung”. (Muttafaq
’alaih).
Hukum Haji dengan Uang Haram
Ulama berbeda pendapat ketika menentukan posisi kepemilikan harta dalam ibadah haji.
Apakah kepemilikan harta yang ada di tangan jamaah haji merupakan
syarat sah haji. Dimana status keabsahan haji tergantung pada status
kepemilikan harta. Sehingga jika harta ini dimiliki dengan cara yang
tidak halal, maka haji tidak sah.
Ataukah keberadaan harta ini hanya syarat wajib hajib. Artinya,
ketika seseorang bisa membiayai dirinya berangkat haji maka dia wajib
haji. Terlepas dari sumber apapun dia mendapatkan biaya itu.
Pendapat pertama, hajinya sah, meskipun dia berdosa dengan menggunakan harta haram.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, Syafiiyah, dan salah satu pendapat dalam Malikiyah serta pendapat sebagian ulama hambali.
Mereka beralasan bahwa keberadaan harta, bukan syarat sah haji, namun
syarat wajib haji. Karena inti haji adalah melaksanakan manasik sesuai
yang dituntunkan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan status harta yang
digunakan untuk mendanai kegiatan itu.
Sebagaimana shalat tetap sah, sekalipun baju yang dikenakan hasil
korupsi. Membaca al-Quran tetap sah, sekalipun mushaf yang dibaca hasil
mencuri, dst.
Ketika hajinya dinilai sah, maka dianggap sudah menggugurkan kewajiban.
Ibnu Abidin menjelaskan berhaji dengan harta haram,
فقد يقال إن الحج نفسه الذي هو زيارة مكان مخصوص الخ ليس
حراما بل الحرام هو إنفاق المال الحرام ولا تلازم بينهما كما أن الصلاة في
الأرض المغصوبة تقع فرضا وإنما الحرام شغل المكان المغصوب لا من حيث كون
الفعل صلاة
Alasan yang diberikan bahwa haji sendiri, yang kegiatannya
mengunjungi tempat-tempat khusus, bukanlah amalan haram. Yang haram
adalah penggunaan harta yang haram. Dan tidak ada keterkaitan antara
keduanya. Sebagaimana shalat di tanah ghasab (rampasan), dianggap
menggugurkan kewajiban (sah). Namun yang haram adalah menggunakan tanah
rampasan itu, dan bukan kegiatan shalatnya. (Hasyiyah Ibn Abidin,
2/456).
Dalam madzhab Malikiyah, al-Wansyarisi – ulama malikiyah – (w. 914 H) menjelaskan,
إذا حج بمال مغصوب ضمنه وأجزأه حجه، وهذا قول الجمهور
Ketika orang berhaji dengan harta hasil merampas, maka dia wajib
ganti rugi, namun hajinya sah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
(al-Miyar al-Muarab, 2/44).
An-Nawawi – ulama syafiiyah – menjelaskan,
إذا حج بمال حرام، أوراكباً دابة مغصوبة أثم وصح حجه،
وأجزأه عندنا، وبه قال أبو حنيفة ومالك والعبدري، وبه قال أكثر الفقهاء،
وقال أحمد: لا يجزئه، ودليلنا أن الحج أفعال مخصوصة، والتحريم لمعنى خارج
عنها
Orang yang berhaji dengan harta haram atau naik kendadaraan hasil
merampas, maka dia berdosa dan hajinya sah serta telah menggugurkan
kewajiban menurut kami. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik,
al-Abdari, dan pendapat mayoritas ulama. Sementara Imam Ahmad
mengatakan, “Hajinya tidak sah.” Alasan kami (syafiiyah), bahwa haji
merupaka amalan khusus. Sementara haramnya harta, itu faktor luar.
(al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 7/62).
Pendapat kedua, hajinya tidak sah.
Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali dan Malikiyah.
Karena biaya haji, bagian dari syarat sah pelaksanaan haji. Meskipun
pada asalnya ini syarat wajib haji, namun syarat wajib dalam ibadah
maliyah, sekaligus menjadi syarat sah.
Al-Wansyarisi menyebutkan keterangan sebagian ulama maliki,
وسئل بعضهم عمن حج بمال حرام، أترى ذلك مجزياً عنه، ويغرم
المال لأصحابه؟ فأجاب: أما في مذهبنا فلا يجزئه، وأما في قول الشافعي فذلك
جـائز، ويرد المـال، ويطيب له حجه
Sebagian ulama malikiyah ditanya tentang orang yang berangkat haji
dengan harta haram, apakah menurut anda itu bisa menggugurkan kewajiban,
dan wajib mengganti harta kepada pemiliknya?
Beliau menjawab,
Dalam madzhab kami, itu tidak sah. Sementara dalam madzhab
as-Syafi’i, itu boleh. Dan dia wajib mengembalikan hartanya, dan berhaji
dengan baik. (al-Mi’yar al-Muarab, 2/43).
Al-Wansyarisi juga menyebutkan keterangan Ibnul Muhriz,
الحج قربة، فلا ينفق فيه إلا الطيب من الكسب. فقد رُويَ
عنه في الحديث صلى الله عليه وسلم أنه قال: مَنْ حَجَّ بمَالٍ حَرَام
فَقَال لَبِّيْكَ نودي لا لّبَّيْك وَلاَ سَعْدَيك، فارجع مأزُوراً غَيْرَ
مأجُورٍ
Haji itu ibadah. Karena itu, jangan didanai kecuali dari hasil yang
halal. Diriwayatkan sebuah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Siapa berhaji dengan harta haram, lalu dia bertalbiyah, “Labbaik..”
maka dijawab untuknya, “Tidak ada labbaik dan tidak ada sa’daik..,
pulanglah dengan membawa dosa dan bukan pahala.”.’(al-Mi’yar al-Muarab, 2/42)
Hadis yang dibawakan Ibnul Muhriz, disebutkan al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, dan statusnya dhaif sekali.
Ibnu Rajab – ulama hambali – menjelaskan,
وأما الحج بالمال المغصوب ففي صحته روايتان فقيل لأن المال شرط لوجوبه وشرط الوجوب كشرط الصحة
Haji dengan harta hasil rampasan, tentang status keabsahannya, ada
dua riwayat. Ada yang mengatakan, bahwa harta merupakan syarat wajib
haji. Dan syarat wajib, seperti syarat sah. (al-Qawaid al-Fiqhiyah, hlm.
23)
Tarjih:
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas
ulama, bahwa haji dengan harta haram hukumnya sah, telah menggugurkan
kewajiban, meskipun sangat tidak berkualitas. Karena inti haji adalah
aktivitas manasik selama masa haji, dengan aturan sebagaimana yang
disebutkan dalam fiqh haji.
Selama jamaah haji melakukan semua aktivitas manasik itu dengan baik,
memenuhi semua rukun, syarat dan tidak melakukan pembatal, maka hajinya
sah.
Hanya saja kesimpulan ini tidak berkaitan dengan apakah hajinya
diterima ataukah tidak. Karena yang dibahas dalam hal ini adalah apakah
hajinya sah atau tidak. Jika sah, berarti telah menggugurkan kewajiban.
Sebaliknya, jika tidak sah, berarti belum menggurkan kewajiban.
Apakah diterima oleh Allah? Ini di luar pengetahuan manusia.
Allahu a’lam.
(http://pengusahamuslim.com/haji-dengan-uang-haram/)
0 komentar :
Post a Comment