NGAYOGYAKARTO,
YOGYAKARTA ATAU DJOGJA ITU MINIATUR INDONESIA, SEAKAN MENJADI JOGJA MENJADI
INDONESIA
Beruntunglah Anda yang terlahir-atau paling
tidak, pernah mengeyam kehidupan- di sebagian kepingan bumi bernama
Ngayogyakarto, Yogyakarta, Jogja atau Djogja. Tuhan dengan penuh kecermatan
menata dan melukis hamparan ngarai di selatan Gunung Merapi ini, lengkap dengan
segenap fasilitas alam yang menenteramkan jiwa
para penghuninya. Percikan aliran Kali Progo, Kali Winongo, Kali Code,
Kali Gajah Wong hingga Kali Opak, seolah replika urat nadi yang senantiasa
berdenyut sebagai penanda kehidupan para penghuninya (Jatmika, 2009).
Senyum dan tawa penuh keramahan
adalah salah satu ciri khas habitat dan ekosistem di sini. Bahkan mereka
sanggup untuk tetap tersenyum dalam situasi sepahit dan segetir apa pun
peristiwa yang mendera. Misalnya, waktu gempa 6,2 skala Richter pada 27 Mei
2006 meluluhlantakkan Jogja (Jatmika,
2009).
Di sini pula spirit kebersamaan
dimulai. Kawan dari lintas agama, orang Jogja, dari mana-mana datang ke sini
dengan suasana kultural. Itulah grand
reality. Fact of the grand reality of
Indonesia seperti itu (Hidayat, 2008). Seakan menjadi Jogja itu menjadi
Indonesia dan mestinya seperti itulah Indonesia. Maka gelar yang cocok
disematkan untuk Yogyakarta adalah “Yogyakarta itu miniatur Indonesia”. Mengapa
demikian ? Ada yang tahu jawabannya ? Bingung ? Coba tanya tetangga sebelah ?
Jika, tetangga sebelah tidak bisa menjawab, cobalah tanya Mbah Google ?
Apabila, Mbah Google memberikan jawaban kurang memuaskan, berikut ini penulis
menyajikan beberapa alasan mengapa Yogyakarta itu miniatur indonesia, seakan
menjadi Jogja menjadi Indonesia.
TOLERANSI SALAH SATU
KEISTIMEWAAN
DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) sudah
sangat terkenal sebagai kota yang sangat bertoleransi, kerukunan antar umat
beragama di daerah ini bahkan layak dijadikan sebuah percontohan bagi umat di
daerah lain. Keberagaman multi agama yang dibawa oleh masyarakat pendatang
ataupun mahasiswa dan pelajar di Jogja sudahlah baik (Atmasari, 2017). Inilah
salah satu keistimewaan Yogyakarta.
Yogyakarta oleh banyak pihak dianggap
sebagai representasi kebhinnekaan Indonesia. Tempat pendatang dari berbagai
daerah, suku, dan agama di Indonesia bertemu, beirnteraksi secara harmonis, dan
terakomodasi dengan penduduk lokal yang
masih kental dipengaruhi oleh budaya Jawa. Hampir-hampir konflik antar-etnis,
agama, dan suku tidak mendapatkan tempat di Yogyakarta sehingga sejak dulu
Yogyakarta menjadi barometer utama toleransi di Indonesia. Tidak mengherankan
jika Yogyakarta menyematkan dirinya sebagai city
of tolerance, kota toleransi. Toleransi yang dimaksud di ini bukan hanya
toleransi agama, namun mencakup toleransi yang lebih luas, yaitu toleransi
budaya (Subkhan, 2007).
Bahkan di kota Yogya pernah tebentuk
satu perkumpulan wayang orang dan dua buah perkumpulan ketophrak “pembauran”,
yang mana pada pemainnya terdiri dari etnis Tionghoa dan Jawa. Beberapa kasus
ditemukan orang Tiongjoa yang dipercaya menjadi ketua atau pengurus RT atau RW
di lungkungan yang mayoritas pribumi. Sementara itu, dalam kehidupan politik
keberadaan Sultan yang memiliki posisi sebagai pemimpin formal dan informal,
secara politis maupun kultural mempunyai peran yang strategis dalam menciptakan
suatu atmosfer toleransi di tengah massa rakyat Yogyakarta (Susanto, 2003).
Dalam konteks tersebut, Sultan dan
Paku Alam sendiri terbukti memiliki hubungan yang akrab dengan rakyatnya
termasuk etnis Tionghoa. Secara historis, keraton dan Sultan tidak pernah
menempatkan etnis Tionghoa dalam posisi yang dipersalahkan, kalau muncul suatu
masalah social, akibatnya massa rakyat Tionghoa benar-benar merasa terlindungi.
Oleh karena itu, massa rakyat Yogya ikut menjunjung tinggi titiah dan karisma
dari Sultan. Selain itu, posisi kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan, budaya
dan pariwisata, serta bukan daerah industri
menjadi factor penting yang turut menciptakan stabilitas kehidupan massa
rakyat Yogyakarta. Kondisi tersebut, didukung pula oleh keaktifan tokoh-tokoh
dari kalangan Tionghoa-Muslim dalam bidang social politik. Ketua Perhimpunan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Yogya misalnua aktif dalam beberapa organisasi social-politik (ICMI, Muhammadiyah
dan PAN), dan terpilih sebagai anggota legisltaif di DPRD Daerah Istimewa
Yogyakarta. Meskipun belum mewakili semua aspiarasi massa rakyat Tionghoa,
namun kenyataan ini setidaknya secara psikologis cukup membesarkan hati massa
rakyat Tionghoa Yogyakarta (Susanto, 2003).
Dalam sejarahnya, dahulu Kebijakan
Keraton Yogyakarta memperbolehkan penggunaan lahan untuk pemukiman bagi warga
asing. Seperti wilayah Kota Baru yang dihuni oleh warga Eropa dan Ketandan oleh
warga Cina. Hal lain yang dipertimbangkan adalah keberagaman dalam unit kemiliteran. Pasukan
militer tidak hanya berasal dari Jawa, tetapi juga Bugis. Bahkan terdapat
cerita, Sultan Yogyakarta memberikan anugerah gelar kepada seorang Kapten Cina
bernama Tan Jin Sin dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Setyodiningrat
(1760-1831) (Mahmudatul, 2015).
Selain itu, salah satu bentuk toleransi
Yogyakarta sehari-hari yang amat sederhana, membudayanya dan mendarah daging
turun-temurun yang langsung dapat dilihat yaitu adanya negosiasi saat terjadinya insiden
kecelakaan. Negosiasi ini diawali dengan ungkapan baik-baik, seperti “Nuwun sewu, Mas… Gimana, Mas…” dan kemudian diakhiri hitung menghitung kerugian dan
biaya. Hal ini berbeda dengan saudara-saudra dari etnis lain yang lebih mudah
terpancing emosi. Artinya, orang beranggapan bahwa rasa aman terjadi ketika
tidak terjadi kecelakaan. Saat insiden kecelakaan pun, tolernasi Jogja terasa
karena adanya negosiasi antar pelaku dan korban. Maka situsi saling menyalip
dengan mencari celah sempit, manjer klakson lama-lama, ataupun menerobos marka
jalan, tidak dianggap sebagai masalah. Kondisi lalu lintas tersebut sudah
menjadi budaya Jogja yang wajar-wajar saja, terjadi di mana-mana sehingga
menjadi pemahaman umum (Raihana, 2007).
BAKPIA SIMBOL PLURALISME
Terkadang terjadi akulturasi atau
sinkretisme budaya (perpaduan dan penyatuan budaya) yang tertuang dalam wujud
masakan atau hidangan kuliner sehingga muncul sebuah cita rasa baru yang khas
hasil perpaduan atau penyesuaian suatu jenis hidangan kuliner dengan lidah
masyarakat setempat atau kultur/budaya setempat (Handoko, 2009). Contoh yang
mudah ditemui adalah Bakpia.
Bakpia adalah makanan yang terbuat
dari campuran kacang hijau dengan gula yang dibungkus dengan tepung lalu
dipanggang. Isi bakpia saat ini sangat variatif.
Tak hanya menyajikan rasa kacang hijau melainkan cokleat, keju, kumbu hijau,
dan kumbu hitam. Bakpia yang cukup
dikenal salah satunya berasal dari daerah Pathuk, Yogyakarta (Ihsan, 2010).
Bakpia menjadi simbol pluralisme,
karena awalnya bakpia adalah sebuah kudapan dari kaum minoritas yang dikenal
menggunakan bahan yang tidak dapat diterima kaum mayoritas.Bakpia menjadi satu
dari dua makanan atau kuliner asal Yogyakarta yang menjadi warisan budaya tak
benda Indonesia, selain Gudeg. Salah
satu ikon kuliner Yogyakarta ini pada 2016 lalu berhasil mendapatkan sertifikat
warisan budaya, kategori kemahiran tradisional. Selain rasanya yang enak, Bakpia
juga menjadi simbol bagaimana proses akulturasi, pluralisme dan toleransi yang
ada dan terjadi di Yogyakarta. Bukan berasal atau asli Yogyakarta, Bakpia
justru berkembang dan kini menjadi salah satu identitas yang termasyhur dan
melekat dengan Yogyakarta. Namun akhirnya mampu melakukan kompromi dan tidak
hanya diterima namun akhirnya dicintai. Itu
menjadi simbol akulturasi China ke dalam orang Jawa. Dan itu bukti toleransinya
orang Jawa untuk menerima budaya Tionghoa.
Diketahui pula, dari buku Bakpia Si Bulat Manis yang Selalu Dicari, di
negara asalnya, asal usul bakpia adalah kue bulan Tong Cu Pia yang ukurannya
lebih besar. Pada awalnya hanya beberapa warga keturunan Tionghoa yang membuat
kudapan manis ini (Handito, 2017).
Namun kemudian lambat laun bakpia
menjadi booming dan menjadi industri di masyarakat Yogyakarta dan menyebar
menjadi industri rumahan. Serta menjadi kaitan erat dengan pariwisata
Yogyakarta. Pengaruh budaya China dalam bidang kuliner memang sangat erat dan
banyak mendominasi. Hal ini sejalan dengan hadirnya para pendatang dari China
yang terjadi secara bergelombang (Handito, 2017).
RAGAM BUDAYA, RAGAM PULA ETNIKNYA
Ragam budaya dan suku para pelajar
yang datang seakan-akan menegaskan Yogyakarta sebagai melting pot kebudayaan
Nusantara. Sejak perang revolusi fisik hingga pengakuan kedaulatan RI 1949,
kota tersebut sudah berciri-ciri keragaman dengan adanya orang-orang daerah
yang menjadikan Yogyakarta sebagai radical concentratie melawan agresi Belanda,
seperti kelompok laskar Kebaktian Rakyat
Indonesia Sulawesi (KRIS) yang terdiri dari orang-orang Sulawesi dalam kepemimpinan Sam Ratulangi dan
kelompok-kelompok laskar lain. Mereka bebas mengaktua lainya adalah ditemukan
orlisasikan diri di tengah-tengah warga masyarakat Yogyakarta (Sastrosoemarto,
2010).
Yogyakarta selalu terbuka bagi setiap
gelar seni budaya, baik yang klasik dan kontemporer maupun gelar seni
etnis-etnis Nusantara dan seni budaya dari mancanegara. Yogyakarta seakan
sebuah jendela budaya di mana kita bisa melihat perkembangan ragam budaya
dunia, juga sebagai pintu budaya yang terbuka bagi penyemaian kreativitas dan
perkembangan budaya-budaya etnis Nusantara. Bagi orang yang berpikir sederhana,
analognya adalah “Yogyakarta adalah asrama mahasiswa”. Berbagai asrama
mahasiswa ada di sini : Riau, Minang, Medan, Flores, dan lain-lain. Itu artinya,
karakteristik Yogyakarta adalah bhinneka tunggal ika. Ibarat sup, ia kaya rasa.
Tatkala dinikmati pasti lezat. Itulah harmoni kehidupan bermasyarakat yang
sejati (Hamengku Buwono X, 2007).
Beragamnya kultur yang berkembang di
Kota Yogyakarta, tidak lepas dari Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan dan
Kota Budaya yang memberikan ruang pertemuan budaya bagi anak-anak bangsa dari
berbagai penjuru nusantara yang datang untuk menimba ilmu dan di sisi lain,
pola pikir dan sifat masyarakat Kota Yogyakarta yang relatif bersifat terbuka
terhadap masuknya budaya lain, pandangan, maupun orang luar, memberikan peluang untuk tumbuh kembangnya kebudayaan dari etnis lain
dan juga pandangan dari berbagai aliran, idelogi, politik, kepercayaan dan juga
agama untuk saling berinteraksi dan membangun hubungan yang harmonis
(Kuncoroyekti, 2012).
Dengan adanya Universitas banyak
sekali pelajar dan mahasiswa yang mempelajari seni tari, seni gamelan, seni
msik dan seni-seni lainnya; di mana-mana mucul perkumpulan-perkumpulan kesenian
yang menumbuhkan pikiran-pikiran dan ciptaan-ciptaan baru. Berhubung dengan
adanya banyak mahasiswa yang berasal dari luar daerah dan yang masing-masing
membawa kesenian-kesenian daerah maka Yogyakarta mendapat kesempatan untuk
menjadi tempat tukar-menukar dan pengaruh-mempengaruhi antara kesenian-kesenian
daerah dan dengan begitu mencipatakn kesenian-kesenian nasional (Anshory dan
Pembayun, 2008).
Bilamana kita melihat latar belakang
etniknya, bukan saja orang Jawa. Dalam kenyataannya penduduk kota Yoogyakarta
berasal dari Minangkabau, Batak, Sunda, Ambon, Keturunan Cina, Arab dan India,
di samping orang jawa sendiri. Hal ini dimungkinkan bila melihat kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan administrasi
yang tercakup di dalamnya berupa kegiatan sosial, ekonomi, politik dan
kebudayaan bagi daerah-daerah di sekelilingnya. Di samping itu, Yogyakarta
dengan jelas terikat dalam jaringan hubungan dengan kota-kota lain di
indonesia, dan bahkan dengan kota-kota di negara lain. Demikian penting, dalam
kenyataannya penduduk Yogyakarta bukan merupakan suatu kesatuan yang homogen
Jawa, melainkan majemuk di mana ada keberagaman etnik (Soepono dan Adonis, 2009).
BERBAUR DALAM MENCARI ILMU
Kampus, selain tempat belajar
mahasiswa, juga merupakan miniatur Indonesia dengan bangsa dari berbagai latar
belakang suku, agama, ras dan antargolongan. Perbedaan yang ada di lingkungan kampus
bukan menjadi penghalang untuk menimba ilmu, namun justru menjadi warna yang
indah dalam bingkai toleransi. Dari
lingkungan kampus inilah, tangan yang selama ini tidak saling
"mengenal" justru saling bergandengan, membantu dan memberikan
dukungan satu sama lain demi meraih masa depan yang gemilang. Canda dan tawa dalam menjalani aktivitas di
lingkungan kampus menjadikan ikatan pertemanan, persahabatan dan bahkan
persaudaraan (Kusuma, 2016).
Hal ini
membuat komposisi penduduk
Yogyakarta tak hanya
beragam, namun juga terbagi
secara dikotomis yaitu
antara warga Yogyakarta
asli dengan warga pendatang. Sudah
sejak lama pula
Yogyakarta mengadopsi multikulturalisme dalam kebijakan
sosial-politiknya, pun secara
kultural dipahami dan
dijalankan oleh warganya (Hasan, 2016).
Selanjutnya, alasan lain Yogya biasa
dikenal dengan sebutan miniatur Indonesia, karena 34 provinsi di Indonesia
semuanya ada di Yogya. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya asrama baik
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dari semua suku yang ada di tanah air,
mereka bisa akur (adem ayem) dan bisa bekerjasama (Hutapea, 2015). Asrama bisa
menjadi etalase dalam mengenalkan budaya daerah asal, sekaligus tempat
mahasiswa beradaptasi dengan budaya lokal, bahkan lebih jauh bisa menjadi pusat
informasi bisnis dan wisata daerah (Siswowiharjo, 2016).
Mereka (mahasiswa dan pelajar) berbaur
dan bergaul dengan penduduk setempat. Bagi penduduk asli Yogyakarta, keberadaan
para mahasiswa menghadirkan manfaat besar bagi perekonomian mereka. Para
penduduk banyak yang menyewakan kos, rumah, hingga membuka warung makan untuk
memenuhi kebutuhan mahasiswa yang datang dari berbagai daerah (Islahuddin,
2014).
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa masyarakat Yogya merupakan masyarakat yang kompleks, terdiri atas
berbagai suku, bahasa dan latar belakang sosial, politik ekonomi, dan budaya.
Yogya adalah miniatur Indonesia (Salam, 2004).
MEMANG BENAR MENJADI JOGJA MENJADI
INDONESIA
Kesimpulannya adalah memang benar
jika Yogyakarta itu miniatur Indonesia dan tepat jika menjadi Jogja menjadi
Indonesia. Masyarakat yang tinggal
di dalamnya berasal
dari berbagai suku,
ras, agama, golongan,
adat-istiadat, hingga budaya.
Masyarakat yang beragam
tersebut bukan hanya
warga asli Yogyakarta, namun
juga datang dari
berbagai daerah di
Indonesia. Seakan seperti medan
magnet, Yogyakarta mampu
menarik minat para
pendatang untuk sekedar berkunjung
menikmati liburan bahkan
tinggal di kota
ini, misalnya saja untuk
menempuh pendidikan. Banyaknya
sekolah dari tingkat
terendah sampai perguruan tinggi,
membuat Yogyakarta dipenuhi
oleh para pelajar
dari berbagai daerah, sehingga
kota ini selain
dijuluki sebagai Kota
Budaya juga dikenal sebagai Kota Pelajar. “Jogja Berhati
Nyaman‟ kemudian menjadi semboyan
kota ini, karena masyarakat
yang beragam tadi
mampu hidup berdampingan
dengan aman di Yogyakarta yang menyuguhkan kenyamanan hidup bagi mereka
(Rosiana, 2014).
Meski diwarnai
dengan keberagaman, Yogyakarta
secara umum masih bertahan dengan stigma “adem ayem” artinya meskipun ada dan
mungkin banyak konflik yang terjadi di balik “adem ayem” nya
sejauh ini Yogyakarta
tetap berjiwa Jawa yang
selalu menjunjung tinggi
tradisi santun, tata
karma, toleransi, dan
budi pekerti dalam praktek kehidupan sehari-hari. Barangkali prinsip-prinsip
tersebut yang menyatukan
keberbedaan yang ada.
Siapapun yang hidup
di Yogyakarta harus menjunjung tinggi nilai-nilai tata
karma dan sopan santun yang berlaku (Alifah et
al., 2016).
Motto Yogyakarta Berhati Nyaman mestinya
bukan merupakan slogan yang bombastis (retorika kosong), tak hanya berhenti di
bibir saja atau gincu pemoles, akan tetapi harus disosialisasilan secara meluas
di tengah-tengah masyarakat secara berkelanjutan, Berkaitan dengan itu, bahwa bahwa
Yogyakarta Berhati Nyaman berisikan antara lain : bersih, indah, sehat , dan
nyaman. Bersih yg dimaksud di sini adalah bersih dari intoleransi. Indah dengan
beraneka macam ragam budaya dan etnis. Sehat dari pikiran rasa curiga antara
satu dengan yang lain. Terakhir, nyaman bagi semua penduduk untuk bekerja,
belajar, beribadah, dan beraspirasi untuk kemajuan Yogyakarta.
HARAPAN MASA DEPAN
Masyarakat Yogyakarta yang homogen
pada awal kemerdekaan meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk, baik etnik, agama maupun adat istiadat. pilihan itu membawa masyarakat
Yogyakarta menjadi bagian kecil dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
Keistimewaan DIY harus mampu membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial yang
berperikeadilan (Jasin, 2016).
Yogyakarta adalah kota budaya.
Sebagai kota budaya masyarakat Yogya dikenal sebagai warga yang toleran,
plural, dan menghargai perbedaan agama atau keyakinan orang lain (Tarsono, 2016).
Persatuan dan kesatuan masyarakat Yogyakarta dalam keberagamannya adalah modal
dasar untuk berbicara tolernasi dan wawasan kebangsaaan pada tingkat nasional
(Zudianto, 2008).
Dalam pandangan saya, untuk
mempertahankan karakter Kota Yogyakarta yang multikultur perlu ada perumusan
dan dukungan kebijakan politik yang jelas dan terukur untuk tiga bidang
priorritas di atas, yakni : pertama, Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang
memiliki kualitas terbaik; kedua, Yogyakarta sebagi kota pariwisata yang
berbasis budaya, khususnya budaya jawa dalam konteks budaya nusantara; dan
ketiga, Yogyakarta sebagai kota pusat pelayanan jasa yang unggul. Sejauh ini
ketiga bidang prioritas itu dinyatakan sebagai harus berwawasan lingkungan.
Artinya, kriteria ‘wawasan lingkungan’ menjadi salah satu tolok ukur kualitas
pencapaian program pembanguna Kota
Yogyakarta. Pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan bukanlah
pembangunan yang dianjurkan (Zudianto, 2008).
“SEMANGAT
! SEMOGA JOGJA SEMAKIN MAJU SEIRING BERTAMBAH TUA USIANYA”
DAFTAR PUSTAKA
Alifah, F. Faizah, I. C. Ummah, N. M.
Toyib, dan M. W. Arif. 2016. Dialektika Konflik dan Inisiatif Damai : Studi
Kasus Forum Lintas Iman (FLI) Gunung Kidul Dan Pondok Pesantren Sunan Pandaran
Yogyakarta.< http://www.pesantrenforpeace.com/phocadownloadpap/Laporan%20Field%20Trip%20Yogyakarta%202016.pdf>.
Diakses tanggal 28 Agustus 2017.
Anshory, H. M. N. dan G. K. R. Pembayun.
2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan : Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme.
LKiS. Yogyakarta.
Atmasari, N. 2017. Keberagaman Agama dan
Budaya di DIY Jadi Percontohan. <http://www.solopos.com/2016/08/21/toleransi-beragama-keberagaman-agama-dan-budaya-di-diy-jadi-percontohan-746352>.
Diakses tanggal 28 Agustus 2017.
Hamengku Buwono X. 2007. Merajut Kembali
Keindonesiaan Kita. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Handito, D. N. 2017. Bakpia dan Kuliner
Saksi Bisu Toleransi dan Pluralisme di Yogya. < http://jogja.tribunnews.com/2017/01/31/bakpia-dan-kuliner-saksi-bisu-toleransi-dan-pluralisme-di-yogya>.
Diakses tanggal 25 Agustus 2017.
Handoko, H. B. 2009. Buku Panduan Wisata
Kuliner Peta 50 Tempat Jajanan & Oleh-Oleh Khas di Malang. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Hartono, Y., A. Rozaqi, dan S. H. Shodiq.
2002. Agama dan Relasi Sosial : Menggali Kearifan Dialog. LKiS. Yogyakarta.
Hasan, A. M. 2016. Praktik
Multikulturalisme di Yogyakarta : Integrasi dan Akomodasi Mahasiswa Papua
Asrama Deiyai. <http://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/societas/article/download/3941/3608>.
Diakses tanggal 27 Agustus 2017.
Hidayat, K. 2008. Orasi Budaya : Islam
Kebangsaan& Kemerdekaan Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.
Hutapea, L. 2015. Daerah Istimewa
Yogyakarta Dikenal sebagai Miniatur Indonesia. < http://www.lensapapua.com/pembangunan/daerah-istimewa-yogyakarta-dikenal-sebagai-miniatur-indonesia/>.
Diakses tanggal 25 Agustus 2017.
Ihsan, A. 2010. Usaha Camilan Modal
<1juta Balik Modal 1 Bulan. Pustaka Grhatama. Yogyakarta.
Islahuddin. 2014. Dharma Bakti Geografi :
60 Tahun Perjalanan Hidup Sukendra Martha. PT Pustala Alvavet. Jakarta.
Jasin, J. 2016. Hukum Tata Negara Suatu
Pengantar. DeePublish. Yogyakarta.
Jatmika, S. 2009. Urip Mung Mampir Ngguyu
: Telaah Sosiologis Folklor Jogja. Kanisius. Yogyakarta.
Kuncoroyekti, H. 2012. Membangun
Yogyakarta Sebagai Kota Multikultural. <http://dprd-jogjakota.go.id/web/artikel/detail/63/membangun-yogyakarta-sebagai-kota-multikultural>.
Diakses tanggal 28 Agustus 2017.
Kusuma, W. 2016. Indahnya Toleransi di
Kampus-kampus Yogyakarta. < .http://regional.kompas.com/read/2016/12/23/05535791/indahnya.toleransi.di.kampus-kampus.yogyakarta.?page=all>.
Diakses tanggal 25 Agustus 2017.
Kutoyo, S. 1997. Sejarah Daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jakarta.
Mahmudatul, F. 2015. Merajut Imajinasi
Keberagaman Yogyakarta. <http://mahmudahabshor.blogspot.co.id/2015/04/merajut-imajinasi-keberagaman-yogyakarta.html>.
Diakses tanggal 28 Agustus 2017.
Raihana, H. 2007. Negara di Persimpangan
Jalan Kampusku. Kanisius. Yogyakarta.
Salam, A. 2004. Opisisi Sastra Sufi.
LKiS. Yogyakarta.
Sastorsoemarto, S. 2010. Jejak Soekardjo
Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol : Sebutir Telur Bebek dari Tambakboyo.
Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Siswowiharjo, T. A. S. 2016. Peran Asrama
Mahasiswa di Yogyakarta. <http://www.indeksberita.com/peran-asrama-mahasiswa-yogyakarta/>.
Diakses tanggal 28 Agustus 2017.
Soepono, S. S. dan F. X. T. Adonis. 1989.
ampak Perkawinan CampuraTerhadap Tatakrama Daerah Studi Kasus Pada Komuniti
Perkotaan di Yogyakarta. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Jakarta.
Subkhan, I. 2007. Hiruk Pikuk Wacana
Pluralisme di Yogyakarta. Kanisius. Yogyakarta.
Susanto, B. 2003. Identitas dan
Postkolonialitas di Indonesia. Kanisius.
Yogyakarta.
Tarsono, W. 2016. Di Yogyakarta,
Penindasan Kebebasan Beragama Semakin Menguat. <http://www.madinaonline.id/sosok/di-yogyakarta-penindasan-kebebasan-beragama-semakin-menguat/>.
Diakses tanggal 28 Agustus 2017.
Zudianto, H. 2008. Kekuasaan sebagai
Wakaf Politik. Kanisius. Yogyakarta.
0 komentar :
Post a Comment