KEHORMATAN DAN MARTABAT MANUSIA
DALAM AGAMA ISLAM
#70thICRCid
A.
Islam
dan ajarannya
Adanya
Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hukum Islam dimaksudkan supaya perilaku
manusia tidak melenceng dari apa yang diajarkan oleh Islam. Karena manusia
mempunyai bakat untuk melakukan kerusakan di atas muka bumi. Selain itu, agar
ketaatannya terhadap ajaran Islam menjadi usaha untuk menjaga kehidupan dunia
yang harmonis. Ketaatan pada ajaran Islam, akan membuat mereka memeluk agama
Islam dengan merasakan kebahagiaan dari dunia
hingga ke akhirat. Dengan tujuan
ini yang hendak dicapai, maka Islam mengatur perilaku umatnya mulai dari bangun tidur hingga beranjak tidur kembali.
Ini adalah konsep yang paling lengkap di antara ajaran agama yang lain. Dengan begitu, seorang muslim
dalam tiap kesempatan dan tiap waktu selalu terikat dengan agamanya. Hal ini
memperlihatkan , bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia adalah hubungan yang terus-menerus dan
terjadi setiap tarikan nafas. Sehingga
kehidupan muslim adalah menjaga hubungan antara manusia dengan Allah, juga
menjaga hubungan antara manusia dengan manusia. Menjaga hubungan antara manusia
dengan Allah merupakan cermin, bahwa manusia adalah makhluk yang lemah ketika
berhadapan dengan Allah. Manusia harus mampu menyelaraskan kehidupannya dengan
apa yang menjadi kehendak Allah. Manusia tunduk di bawah kekuasaan adikodrati
yaitu Allah. Meskipun demikian, bukan berarti manusia bersikap pasrah atau fatalistic tanpa mau berusaha.
Kepasrahan manusia kepada Allah adalah kepasrahan yang sadar, artinya manusia
juga berusaha melakukan sesuatu (Salwasalsabila, 2008).
Islam
adalah dien (agama) yang universal dan langgeng, yang telah diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya, Sayyidina Muhammad. Islam memiliki atura-aturan yang mengatur
hubungan antar manusia. Hubungan dengan Rabb-Nya diatur dalam Aqidah dan
Ibadah; hubungan dengan diri manusia sendiri diatur dalam hukum-hukum akhlaq, al math’uumat (makanan). Dana al malbuusat (pakaian); serta hubungan
manusia lain diatur dalam hukum-hukum mu’aamalaat
dan uquubat. Islam adalah suatu mabda’ (ideologi yang
memiliki system Aqidah dan Syariah) universal yang mencakup seluruh aspek
kehidupan; mengatur Gharizah (naluri/instink)
manusia, diciptakan menyatu dalam tubuh, dan diatur dengan cara mendetail, yang
memberikan pemenuhan gharizah tersebut dengan cara pemenuhan
yang benar, serta memecahkan segala problema kehidupannya, juga mengatur
berbagai urusannya (Al Badri, 1990).
Universalitas
kemanusiaan adalah ajaran pokok dalam Islam, yang berkali-kali dalam Al-Qur’an
dan Hadis serta disampaikan lewat keyakinan pada kesamaan asal dan hak serta
solidaritas seluruh manusia. Manusaia diperlakukan sebagai makhluk paling agung
dan terpuji, dengan daya pengetahuan dan tindakan moral. Semua manusia terlahir
dengan pengetahuan Tuhan, dan Al-Qur’an ditujukan sebagai jalan bagi manusia
untuk mengingat asal-usul mereka dan mempererat hubngan mereka dengan Tuhan.
Al-Qur’an menekankan kehormatan yang diberikan kepada manusia. Karena itu,
hidup seseorang harus ditujukan untuk menjaga kemuliaan dan kehormatan manusia.
Ikut campur dalam rangka atau bertindak melindungi kemuliaan dan kehormatan
asasi seseorang, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berhak atas penghormatan
dan perlindungan, dianggap sebagai perbuatan mulia (Nimer, 2010).
Agama
Islam mengajarkan bahwa masing-masing jiwa manusia mempunyai harkat dan
martabat yang senilai dengan manusia sejagad. Masing-masing pribadi manusia
mempunyai nilai kemanusiaan universal. Maka, kejahatan kepada seorang pribadi
adalah sama dengan kejahatan kepada manusia sejagad, dan kebaikan kepada
seorang pribadi adalah sama dengan kebaikan kepada manusia sejagad. Inilah
dasar yang amat tegas dan tandas bagi pandangan kewajiban manusia untuk
menghormati sesamanya dengan hak-hak asasinya yang sah (Monib dan Bahrawi,
2011).
B.
Kehormatan
dan Martabat Manusia
Kehormatan
dan harga diri adalah sesuatu yang harus dijaga dan tak boleh mati. Kebenaran
yang akhirnya melahirkan martabat. Dan martabatlah yang membuat segala menjadi
terhormat. Harga diri adalah wujud dari keinginan untuk tetap terhormat. Terhormat beda dengan gila hormat. Terhormat
adalah sebuah tindakan untuk menjaga martabat dengan melakukan tindakan
berdasarkan asas kebenaran dan tatanan (Marsiya, 2012).
Kehormatan
merupakan hak asasi dalam Islam. Yang dimaksud dengan kehormatan di sini, bahwa
setiap Muslim berhak hidup dalam kehormatan. Ini berarti pula bahwa manusia
hadir di muka bumi ini bukan hanya untuk hidup, tetapi juga hidup dalam kemuliaan
dan dengan tujuan tertentu. Lalu, apakah yang dimaksud dengan kehormatan
manusia ? Tidak lain adalah nilai yang terkandung dalam diri manusia. Atau
dalam bahasa lain, kehormatan manusia adalah penghargaan yang harus diterimanya
sebagai konsekuensi kemanusiaannya (Boy, 2008).
Martabat
manusia (human honotable place; human dignity), bukanlah sesuatu state of being atau sesuatu yang
bersifat statis, tetapi suatu state of becoming, sesuatu yang siatnya dinamik,
fluktuatif. Martabat, butuh pemeliharaan, perjuangan untuk meningkatkan dan
mengekalkannya. Walaupun sebagai manusia, Tuhan telah menempatkan manusia itu,
sebagai makhluk yang memiliki martabat yang lebih tinggi dari makhluk lain
(termasuk jin dan binatang). Karena itu kalau dirujuk bench-marking-nya
binatang, adalah benar kalau manusia tidak boleh disamakan derajatnya dengan
binatang. Hanya seberapa lebih tinggi dari binatang adalah masalah sesama
manusia itu sendiri. Derajat manusia lebih tinggi dari binatang, karena dia
adalah makhluk berpikir atau berakal (Felly, 2008).
Semua
obyek di dunia ini, kecuali manusia, memiliki nilai tukar, yakni harga yang
dengannya obyek-obyek itu bisa dijual. Bahkan obyek yang harganya tinggi
sekalipun, masih dapat dibeli, tetapi manusia memiliki kehormatan dan kemuliaan
(nilai intrinsik yang tak ternilai) dan karena itu, manusia tidak boleh diukur
dengan harga. Dari perspektif Islam, bisa juga diketahui bahwa kemuliaan atau
kehormatan manusia bersifat mutlak, tanpa harus melihat perbedaan ras,
golongan, umur, warna kulit, kekayaan, status soial, jabatan, atau jenis kelamin
(Boy, 2008). #70thICRCid
C.
Bukti
Islam menjunjung kehormatan dan martabat manusia
Dalam
hidup ini, setiap manusia menghendaki martabat dan kehormatannya terjaga.
Seperti halnya jiwa, kehormatan dan nama baik setiap manusia juga harus
dilindungi .Hukum Islam sebagai Rahmatan lil 'Alamin, pada prinsipnya telah
menjaga dan menjamin akan martabat dan kehormatan tiap manusia dan mengharuskan
untuk menjaga keduanya untuk saudara-saudaranya. Islam menjunjung kehormatan dan martabat manusia.
Hal ini ditunjukkan dalam ajaran-ajaran, amalan-amalan, ibadah-ibadah, dan
perintah-perintah dalam Islam itu sendiri.
Pernyataan
di atas segera terjawab kalau kita
melihat beberapa kenyataan sebagai berikut :
1.
Tidak
ada paksaan dalam beragama
Dalam
sistem berpikir manusia zaman kita yang snagat peka terhadapa masalah hak-hak
asasi manusia, pengakuan akan kebebasan beragama dikembalikan kepada pinsip
universal yang disebut martabat manusia (human dignity). Dari konsep martabat
manusia itu, diturunkan hak-hak asasi manusia. Salah satu realisasi martabat
manusia itu ialah pengakuan kebebasan beragama (Sujoko, 2009). Kebebasan agama
adalah salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena
kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan (Soetarman et al.,
1996).
Hukum
di Indonesia menempatkan kebebasan beragama pada tatanan tertinggi. Kebebasan
beragama dalam kacamata HAM sendiri mempunyai posisi yang kompleks. Amanat hak
kebebasan beragama terdapat dalam Mukadimah Konstusi Indonesia yang termasuk
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Amanat kebebasan beragama
tersebut bahkan lahir sebelum Universal Declaraon of Human Rights 1948 atau
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948). Hal ini menunjukkan bahwa
pendiri republik ini menghorma dan menjunjung nggi kebebasan beragama atas
martabat kodra manusia yang paling hakiki (Arliman, 2015).
Menurut
Islam, percaya kepada Tuhan adalah karena petunjuk-Nya. Artinya pemilihan
seseorang terhadap sesuatu agama haruslah secara sukarela, dan pemilijan itu
harus dilakukan secara sadar. Tidak bileh dengan paksaan, baik dalam bentuk
fisik maupun sugestif dalam segala manifestasinya. Kondep dasar hukum etika
Islam ini terlihat secara jelas dalam semua ajaran Islam berkaitan dengan
aspek-aspek kehidupan social. Orang muslim ditugasi untuk mengajak Ahli Kitab,
kaum atheis, dan penyembah berhala (dewa-dewa) supaya memeluk Islam. Namun
demikian, ia tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk Islam, karena akidah
tidak bisa tumbuh di dalam hati dengan paksaan. Karena itu, memaksa orang lain
untuk memeluk Islam di samping terlarang, ia juga tidak akan membuahkan hasil
(Harjono, 1995). Persoalan kebebasan beragama dalam Islam bahkan tidak sebatas
membiarkan seorang manusia memilih terhadap suatu agama, namun lebih dari itu,
memberi kebebasan kepada pemeluk setiap agama untuk melaksanakan ritual ajaran
agamanya. Hal ini karena keyakinan merupakan urusan ukhrawi yang nanti akan
diperhitungkan oleh Allah SWT di hari kiamat kelak (Basuki, 2013).
“Tidak ada paksaan dalam memeluk
agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah:
256)
Ayat
tentang tidak ada paksaan dalam hal beragama dan berkepercayaan ini mengandung
dua sudut pandang hukum. Pertama, hukum agama menggarisbawahu tidak boleh ada
paksaan sedikit pun untuk beragana. Kedua, hukum agama melarang membebani atau
menekan manusia untuk beriman dan berkeyajian dalam situasi terpaksai. Seusia
dengan hakekat pembentukan iman, paksaan akan menyebabkan manusia bekerja di
bawah pengaruh eksternal, bukan dorongan keyakinan batin atau nurani (Rachman,
2010).
Dengan
kata lain, toleransi yang ditawarkan Islam adalah toleransi dengan menghargai
hakikat dan martabat mereka yang berbeda, toleransi yang mempunyai batas-batas sakral,
yang tidak diperkenankan untuk saling memasukiny. Di sinilah firman Allah
“lakum diinukum waliyadin” mempunyai ruh
yang sangat fundamental sebagai dasar toleransi tersebut. Ayat ini menegaskan
batas atau benteng antara kedua belah pihak, tetapi saling memberikan rahmat
satu dengan lainnya, sebagaimana misi seorang muslim untuk membawa risalah
rahmatan lil-‘alamin, memberikan rahmat kedamaian bagi segenap alam semesta (Tasmara,
2000).
2.
Nyawa manusia yang berharga
Hak
hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan karunia
dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum Islam terhadap hak hidup
manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syaria’ah yang melindungi dan
menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan
qishash dan larangan bunuh diri (Yefrizawati, 2005).
Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya) (QS. Al-'Isra' : 33).
Di dalam Islam, nyawa manusia
dipandang suci. Al-Qur’an dengan gamblang menyatakan bahwa siapa pun yang
membunuh satu orang, maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia (El Fadl,
2005).Islam tidak hanya dipahami sebatas ajaran atau wahyu Tuhan semata,
melainkan juga dengan berbagai bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat
(Purwadi, 2006). Islam telah meletakkan denga jelas kasus-kasus dan situasi
ketika hidup manusia boleh dibinasakan . Penghabisan nyawa manusia tanpa adanya
konsep yang diajarkan Islam (diperbolehkan Islam) dianggap sebagai dosa
terbesar setelah politisme. Islam menganugerahkan hak hidup ini kepada setiapa
manusia dari ras, bangsa, maupun agama
manapun ia berasal.
Fiqh jinayah, yang berkaitan dengan
pembunuhan merupakan sebuah perlindungan Allah terhadap hak hidup manusia.
Bentuk hukuman mati yang diberikan kepada pelanggaran hak hidup pada hakekatnya
melindungi nyawa manusia lain, karena dengan pemberlakuan hukum hudu, maka akan
banyak atau kehidupan manusia yang akan terlindungi dan terselamatkan. Hukum
qishah yang dipandang sebagai salah satu hukum yang keji, bila dilaksanakan
dengan benar sesuai dengan sumber hukum peradilan Islam, akan membantu manusia
untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan atas hak hidup yang diberikan Allah
kepada manusia dan seluruh makhluk di muka bumi (Munajat, 2004).
Bagaimanapun, perlu dicatat bahwa
peraturan pidana Islam menetapkan hukuman mati bagi orang yang melakukan
tindakan kejahatan berat tertentu (membunuh dengan sengaja). Dengn tujuan
mencegah terjadinya kejahatan dan memelihara kedamaian, keamanan, dan
ketentraman, Islam menetapkan aturan-aturan preventif dan hukum yang adil bagi
tindakan-tindakan yang cenderung mengancam hidup orang lain tanpa ada alasan
yang sah. Namun, perlu dikemukakan disini bahwa keluarga si terbunuh juga
memiliki pilihan lain yaitu memaafkan si pelaku (Ebrahim, 2007).
. Selain itu, selama beratus tahun, kaum
Muslim sangat mafhum, bahwa kaum di luar Islam, adalah kaum kafir. Untuk mereka
ada berbagai staus, seperti zhimmi, harbi, musta’aman, atau mu’ahad. Status
mereka memang kafir, tetapi mereka tidak boleh dibunuh karena kekafirannya.
Jadi, bangunan dan sistem Islam itu begitu jelas, bukan hanya dalam konsepsi
teologis, tetapi juga konsepsi sosial, ekonomi, politik, kebudayaa, peradaban,
dan sebagainya (Husaini, 2006).
“Barangsiapa
membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal
sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ” (HR. An
Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
3. Lidah
yang terjaga
Syariat
Islam diturunkan untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Setiap perilaku
yang merendahkan harkat dan martabat manusia, baik secara pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat tentu dilarang oleh Allah (Ali, 2007). Negara pun turut
mengatur perlindungan terhadap harga diri, martabat manusia tercantum dalam
KUHP Bab XVI, Buku II di antaranya dalam Pasal 310 ayat 1 atau yang sering
diistilahkan dengan pencemaran nama baik.
Menurut
Al-Ghazali (2003) pencemaran nama baik adalah menghina (merendahkan orang lain
di depan manusia atau di depan umum. Sementara Abdul Rahman Al-Maliki dalam
bukunya Sistem Sanksi dalam Islam
membagi penghinaan atau pencemaraan nama baik menjadi tiga :
a. Al-Zammu
: penisbahan sebuah perkara tertnetu kepda seseorang berbentuk sindiran halus
yang menyebabkan kemarahan dan pelecahan manusia.
b. Al-Qadhu
: segala sesuatu yang berhubungan dengan reputasi dan harga diri tanpa
menisbahkan sesuatu hal tertentu.
c. Al-Tahqir
: setiap kata yang bersifat celaan atau mengindikasikan pencelaan atau
pelecehan
(Al-Maliki,1989).
Untuk menjaga agar kehormatan masyarakat tidak
dipermainkan dan untuk melindungi agar kehormatan orang lain tidak dilanggar,
Islam memotong lidah-lidah yang jahat. Islam menutup pintu bagi orang-orang
yang mencari aib orang-orang yang
bermental rendah melukai perasaan orang lain dan mempermainkan kehormatan
mereka. Islam menjatuhkan hukuman keras atas qadzaf (menuduh orang berbuat
zina), dengan menjadikannya dekat dengan hukuma zina : delapan puluh kali dera,
di samping tidak menerima persaksian pelakunya, serta mencapnya dengan lebel
fasik (Asy-Syariif, 2005).
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian yang
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(An-Nuur: 4)
Dari
Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,
“Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah; sihir;
membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan
harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap
wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih
dari zina.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669)
Walaupun
merupakan anggota tubuh yang paling kecil tetapi lidah jika dibadningkan dengan
anggota tubuh lainnya adalah sangat besar bahaynya bila tidak dikekang dengan
ketaqwaan. Betapa banyak orang yang jatuh martabat dan kehormatannya karena
kecerobohan lidah ? Betapa banyak fitnah dan pertikaian yang terjadi serta bencan
yang menimpa akibat lidah (Yakan, 1995). Imri’ Al-Qais. Dalam bukunya “Diwaan
Imri al-Qaia bi Syarh Hasan as-Sanduubi” mengatakan; Lidah, dalam masalah
ucapan, bagaikan tangan dalam masalah bekerja. Luka akibat lidah bagaikan luka
akibat tindakan tangan.
Daripada
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, daripada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam
Baginda bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka
hendaklah dia berkata baik ataupun diam.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Sebagai
sebuah agama sekaligus sistem nilai, Islam mengajarkan komunikasi berbasis
akidah Islam. Akidah yang mengakar kokoh akan membuahkan akhlak yang manis.
Akhlak inilaj yang tercermin dalam sikap dan perilaku komunikasi masnusia.
Komunikasi yang disertai sifat pemafaat, suka mengajak pada kebenaran,
berpaling dari orang-orang jahil, dan suka berlindung dari godaan setaan. Maka
dari ut, dengan lidah sesoeang dapat mulai martabatnya, namun dapat pula jatuh
reputasinya. Allah telah memberikan lidah untuk berkomunikasi, menungkapkan isi
hati, pikiran, dan perasaan kepada sesama hingga orang dapat menjadi sedih atau
senang. Dengan kata-kata yang disampaikan, persaudaraan dan persahabatan dapat
menjadi akrab dan bertambah akrab. Lidah
memang enak untuk dinikmati, tetap terkadang pahit dirasakan (Mulianto et al.,
2006).
Abdul
Ahlim Mahmud, dalam bukunya “merajut Benang Ukhuwah Islamiyah”, menyebutkan
beberapa hak yang harus diepgang dalam upaya menjaga hubungan kepada sesame,
yaitu :
a. Hak
untuk tidak disebutkn aib-aibnya dengan lisan
b. Hak
untuk tidak disebut aib-aibnya dengan hati.
c. Hak
untuk tidak didebat.
d. Hak
untuk tidak disebarluaskan rahasianya
(Mahmud,
2000).
.
4. Wanita
terhormat dan terlindungi
Standar pakaian Islam sering kali dikritik oleh
sebagian kalangan, berdasarkan bias kultural dan masyarakat mereka, karena dianggap merendahkan dan menindas wanita.
Sementara pandangan Barat kontemporer mengenai pakaian dianggap membela
kebebasan pribadi, termasuk pilihan untuk tidak berpakaian sama sekali.
Berbagai peradaban, bangsa, budaya, dan indovidu memiliki definsi sendiri yang
sangat berbeda-beda mengenai apa yang dianggap sebagai pakaian lazim, Islam
berpendapat bahwa hanya Tuhan yang dapat mendefinisikan standar berpakaian
tersebut. Satu-satunya cara untuk mengatasi bias pribadi dan
keterbatasan-keterbtasn yang inheren dalam diri kita akibat keterbatasan ruang
dan waktu adalah bersandar pada hikmah Tuhan. Dengan hikmah-Nya, Tuhan
mengetahui bahwa satu-satunya cara untuk berpakaian sesuai kehendaknya. Hikmah
Tuhan mengetahui fakta bahwa cara berpakaian tidak lazim (lazim menurut Islam)
akan melahirkan dosa perselingkuhan dan pemerkosaan (Ahmad dan Ahmad, 2008).
“Hai
Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri – istri
orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Ahzab: 59)
Selain
itu, Islam telah menyelamatkan mereka (kaum hawa) dari penguburan bayi, telah memerdekakan mereka dari
kehinaan, dan telah menyelamtkan mereka dari kezholiman dan perampasan hak.
Dalam Islam hak waris mereka dijamin dan mereka juga mendapat jaminan perlindungan
dalam berbagai tahap kehidupan. Orang yang berani memfitnahnya tanpa bukti diancam hukuman dera
di depan umum. Orang yang berani memperkosa kehormatannya diancam hukum dera
dan rajam. Bahkan dalam Islam. Tolak ukur budi pekerti dan kehormatan seorang laki-lalki tergantung pada sikap
hormat dan kasih sayangnya kepada isteri-isterinya (Yusuf, 1989).
Tidak
hanya sampai di situ, Islam menjunjung tinggi kehormatan kaum wanita. Islam
memerintahkan laki-laki yang bukan mahrom untuk menundukkan pandangannya demi
menghormati kebersihan dan kesucian kaum wanita, dan kaum wanita pun
diperintahkan agar mengekang matanya dari berbagai yang diharamkan.
Diperintahkannya kepada mereka agar memakai busan muslimah (jilbab) yang
sempurna sebagai ciri bagi mereka yang beriman dan untuk membedakannya dengan
wanita lain yang keluar rumah dengan “telanjang”, demi untuk memelihara diri
dan kehormatan mereka dari orang-orang berpenyakit hati (Yusuf, 1989).
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya” (QS. An-Nuur : 30-31).
5. Si
kaya yang peduli pada si miskin
Dilihat
dari sisi penerimnya, zakat dapat membebaskan manusia dari sesuatu yang
menghinakan martabat mulia manusia dan merupakan kegiatan tolong-menolong yang
sangat baik dalam menghadapi problema kehidupan dan perkembangan zaman (Hasbi,
2008).
Allah
SWT dengan tegas menetapkan adanya hak dan kewajiban antar 2 kelompok di atas
(kaya dan miskin) dalam pemerataan distribusi harta kekayaan, yaitu dengan
mekanisme zakat, sehingga keseimbangan kehidupan sosial manusia itu sendiri
akan tercapai serta akan menghapus rasa iri dan dengki yang mungkin timbul dari
kelompok yang kurang mampu. Selain itu di dalam harta orang-orang kaya
sesungguhnya terdapat hak orang-orang miskin. Zakat bukanlah masalah pribadi
yang pelaksanaannya diserahkan hanya atas kesadaran pribadi, zakat merupakan
hak dan kewajiban
6. Derajat
yang sama
Umat
dalam sistem Islam adalah suatu kumpulan yang disatukan bukan oleh ikatan
kesatuan tempat, darah, atau bahasa. Karena hal itu merupakan ikatan sintetik,
sementara, dan sekunder. Ikatan umat yang utama adalah kesatuan aqidah, atau
dalam pemikiran dam emosi. Siapa yang menganut Islam, dari ras manapun dan
berwarna kulit apa pun, serta dari negara mana pun dia adalah warga negara
Islam (Rais, 2001).
Hak
asasi manusia dalam Islam sebenarnya sudah menjadi komitmen dasar, yang
dimulai oleh Rasulullah dengan ajaran
membebaskan budak. Kalau kita perhatikan, ajran puasa selalu dikaitkan dengan
pembebasan budak. Ketika ada kasus sahabat Rasulullah yang melanggar puasa
dengan melakukan hubungan seksual dengan isterinya di siang hari, hukun
kafarat-nya adalah dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, memerdekakan
budak atau memberi makan 60 orang miskin. Ini menjadi jelas bahwa ada visi
pembebasan kaum tertindas, sekaligus visi pembebasan terhadap budak. Jadi,
sebenarnya perbudakan dalam Islam tidak dibenarkan. Di sini Rasulullah membuat
satu lompatan sejarah. Ketika itu masyarakatnya memang banyak sekali memiliki
budak, yang sebenarnya secara manusiawi tidak dibenarkan, karena manusia dimiliki
oleh manusia lain. Nabi Muhammad , secara bertahap mendorong pembebasan budak.
Rasulullah secara substantive sudah mengajarkan kepada kita untuk membebaskan
budak, tetapi belum secara tegas beliau mengatakan bahwa perbudakan itu haram. Akan
tetapi, kalu kita lihat maksud dari semua itu, Rasulullah sebenarnya jelas
sekali tidak menghendaki adanya perbudakan (Rahmat, 2003).
Islam
datang untuk menghapus perbudakan secara bertahap, meskipun mengakui adanya
perbudakan dari satu sebab (jalur) saja, yaitu peperangan resmi. Sebelum Islam,
tidak ada upaya apa pun di mana pun, dan oleh siapa pun utnuk memerdekakan
budak. Persoalannya bukanlah membebaskan atau menjadikan budak, tetapi apakah
tawanan itu dibunuh atau dijadikan budak. Ini yang berlaku saat itu, ketika
Islam belum datang dengan risalahnya yang begitu sempurna. Islam tidak
mensyariatkan perbudakan , bahkan sebaliknya syariat Islam menuju pembebasan
perbudakan secara bertahap. Perlakuan Islam terhadap tawanan perang, lebih-lebih
kepada budak, sangat manusiawi bahkan seperti saudara. Para budak diberi
makanan dan pakaian serupa dengan apa yang dimakan dan dipakai para pemiliknya.
Mereka tidak pula dibebani kerja paksa dan yang berat yang tidak mampu mereka
pikul (Sya’rawi, 2007).
“Bertaqwalah
kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki.” (Shahihul
Jami’ no. 106, Al-Irwa’ no. 2178)
“Budak
memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh dibebani pekerjaan
di luar kemampuannya.” (HR. Muslim, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Islam
sama sekali tidak pernah memerintahkan perbudakan , juga tidak terdapat satu pun
nash dalam Al-qur’an untuk memperbudak
tawanan. Akan tetapi, Islam dating dan menjumpai perbudakan sudah menjadi sistem dunia dalam bidang
perekonomian, dan memperbudak tawanan pun juga menjadi tradisi dunia di mana
orang-orang yang berperang berbuat demikian. Karena itu, perlu dilakukan
perubahan secara perlahan-lahan terhadap system social yang demikian. Islam memilih
jalan untuk mengeringkan sumber-sumber perbudakan sehingga akhirnya seiring
dengan perkembangan zaman, ssitem ini tidak brlaku lagi, dengan tidak
menimbulkan goncangan social yang tidak terkendali. Di samping itu. Islam
memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi budak, dan memberikan pengormatan
sebagai manusia dalam batas-batas yang luas (Quthb, 2000).
“Janganlah
salah seorang diantara kalian mengatakan: Hai hamba laki-lakiku, hai hamba
perempuanku, akan tetapi katakanlah : Hai pemudaku (laki-laki), hai pemudiku
(perempuan).” (HR. Bukhari No. 2552 dan Muslim No. 2449)
Islam
pada waktu itu belum mampu menekan masyarakat yang memusuhi mereka untuk
menentang tradisi yang berlaku itu, yang
sudah menjadi sistem sosial ekonomi dunia ketika itu. Seandainya menetapkan
kemerdekaan keturuan para budak yang ada sebelum terbentuk sistem perkeonomian
bagi pemerintahan Islam, niscaya terabaikanlah budak-budak itu dengan tidak
memiliki sumber pendapatan, tidak ada orang yang menjaminnya, dan tidak ada
yang menanggungya, serta tidak ada unsur-unsur keluarga dekat yang
melindunginya dari kemiskinan dan dari kejatuhan mental yang berakibat akan
menimbulkan kerusakan bagi kehidupan masyarakat yang baru tumbuh. Maka. Islam
memberikan hak penuh kepada si budak untuk meminta dimerdekakan dengan membayar
fidyah dengan melakukan mukatabah dengan majikannya. Sejak saat dia menghendaki
kemerdekaan itu, ia mendapatkan
kebebasan untuk bekerja, berusaha, dan memiliki sesuatu. Sehingga, ia berhak
mendapatkan upah dari kerjanya itu. Boleh juga ia bekerja pada orang lain untuk
mendapatkn penhasilan guna membayar tebusannya. Ayitu, ia menhadi manusi
merdeka dan mendapatkan kemerdekaan yang
paling penting secara parktis. Kemudian dia juga berhak mendapat bagian dari baitul mal kaum
muslimin dari zakat (Quthb, 2000).
Pada
kenyataannya, Islam menetapkan secara temporer dan tidak menghapus perbudakan
secar sekaligus, tetapi secara bertahap teurs meningkat pada kaum Musllim.
Islam menyiapkan faktor-faktor untuk mengakhiri perbudakan dan mengharamkan
seluruh sumbernya selain perbudakan terhadap tawanan karena perang yang adil
untuk menahan serangan musuh, serta menjaga keseimbangan bersama umat-umat yang
lainnya, dan juga selain perbudakan karena warisan. Pada dasarnya, syariat
tidak memperbolehkan seorang Muslim diperbudak. Demikianlah, dakwah Muhammad
memerangi perbudakan secara bertahap dengan lebih menitikberatkan pada
persiapan hati nurani manusia untuk menghapusnya sendiri daripada secara
langsung (Qardhawi, 2009).
Barang
siapa membebaskan budak yang muslim niscaya Allah akan membebaskan setiap
anggota badannya dengan sebab anggota badan budak tersebut, sehingga kemaluan
dengan kemaluannya. “ (HR. Bukhari, Fathul Bari V/146 dan Muslim No. 1509)
“Tetapi
ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS.
Al-Balad: 11-13)
Selain
menutup arus perbudakan, Islam mulai memberi hak-hak mereka dan menghilangkan
taklif yang tidak mampu mereka pikul. Para budak mempunyai derajat yang sama
dengan para majikan, mereka berhak atas kehidupan yang layak (Qumaihah, 1990).
7. Nafsu
Syahwat yang terarahkan
Syahwat
berujung pada nilai yang jauh dari kemanusiaan, sedangkan cinta merupakan
cermin dari sebuah nilai kemanusiaan yang saling mengangkat harkat martabat
sebagai manusia, bukan saling menjatuhkan dalam dunia hitam. Secara teori agak
sederhana, tetapi dilapangan ternyata membedakan cinta dan syahwat begitu
tipis, karena kedua hal ini sangat beriringan dalam kehidupan, seperti bentuk
tindakan revolusi dan anarkis sangat tipis perbedaannya, karena ada revolusi,
biasanya disertai tindakan anarkis,. begitu pula cinta, di saat muncul sebuah
cinta biasanya disertai syahwat, sehingga kedua hal ini dapat di ibaratkan,
seperti sayur sama garam yang saling melengkapi, walau berbeda rasa dan nilai
antara sayur dan garam, tetapi ternyata kedua hal ini saling melengkapi satu
sama lain (Kiber, 2011).
Jelas,
bahwa keterlenaan dalam berbagai syahwat bertentangan dengan perasaan-perasaan mulia,
baik yang berkaitan dengan agama, akhlak, ilmu, seni, mauun lain-lainnya. Semua
itu akan mati atau padam akibat kehidupan hewaniah tersebut. Orang yang
menperhambakan diri kepada syahwatnya dan yang tenggelam dalam lumpur
kehinaannya. Selain tidak memiliki perasaan-perasaan keagamaan yang agung, ia
pun akan kehilangan sifat-sifat kekesatriaan, kemuliaan, kehormatan,
kepahlawanan, keberanian, dan pengorbanan. Ia akan menjadi tawanan
syahwat-syahwatnya sendiri, baik yang bersifat bendawi maupun indriawi
(Muthahhari, 2007).
Maka
jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan akad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan
dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini
dengan berpacarab, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya
yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam. Sasaran utama dari
disyari’atkannnya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah membentengi
martabat. Martabat manusia dari
perbauatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat
manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai
sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauab ( Dahlan, 2011).
Islam
adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam menunjung tinggi prinsip
keadilan.Islam tidak membunuh hawa nafsu, tetapi mengendalikan dan mengatur hawa
nafsu, sesuai dengan konsep Sang Pencipta, agar manusia meraih kebahagiaan
(sa’adah); bukan sekedar meraih kepuasan syahwat jasmaniah (Husaini, 2013).
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, S. F. dan S. S.
Ahmad. 2008. 5 Tantangan Abadi Terhadap Agama. Judul asli : Gd, Islam, and the
Skeptic Mind : A Study on Faith, Religious Diversity, Ethics, and the Problem
of Evil. Penerjemah : Rudy Harisyah Alam. PT
Mizan Pustaka. Bandung.
AL Badri, Abdul Aziz.
1990. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam. Penerjemah :Tjetjep Suhandi dan
Muhammad Toha Idris. Gema Insani Press. Jakarta.
Al-Barabbasi, N. 2009.
Kisah-Kisah Islam Anti-Korupsi. PT Mizan Pustaka. Bandung.
Al-Ghazali, A. H. 2003.
Ihyaul Ulumuddin. Lentera Hati. Ciputat
Ali, H. Z. 2007. Hukum
Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta
Al-Maliki, A. R. 1989.
Sistem Sanksi dalam Islam. CV Toha Putra. Semarang.
Arliman, L. 2015.
Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama : Studi Pada Komnas HAM Perwakilan
Sumatera Barat. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 2 : 370-387.
Asy-Syariif, Isham bin
Muhammad. 2005. Beginilah Nabi Mencintai Istri. Gema Insani Press. Jakarta.
Basuki, A. S. 2013.
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM MASYARAKAT : Studi Tentang Pindah Agama dan
Konsekuensinya Menurut Pemikir Muslim Kontemporer. Religi, Vol. IX, No. 1,
Januari 2013: 59-79.
Bland, M., A. Theaker,
dan D. Wragg. 2004. Hubungan Media yang Efektif. Erlangga. Jakarta.
Boy, P. 2008. Fikih
jalan tengah: dialektika hukum Islam dan masalah-masalah masyarakat modern. PT
Grafindo Media Pratama. Jakarta.
Dahlan, Djamaludin
Arra’uf bin. 2011. Aturan Pernikahan dalam Islam. JAL Publishing.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi,
Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah.
Ebarhim. A. F. M. 2007. Fikih Kesehatan : Kloning, Eutanasia,
Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan. Serambi. Jakarta
Ebarhim. A. F. M.
2007. Fikih Kesehatan : Kloning,
Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan.
Serambi. Jakarta.
El Fadl, K. M A.
2005. The Great Theft Wrestling Islan from The Extrenmits. PT
Serambi Ilmu Semesta. Jakarta.
Falsaaftihi fii Dhau’
Al-qur’aan wa Al-Sunnah. Penerjemah :Irfan Maulana Hakim, Arif Munadar
riswanto, Saifuddin, Irwan Kurniawan, dan aedhi Rakhman Saleh. PT Mizan
Pustaka. Bandung.
Felly, U. 2008. Manusia
komunikasi, komunikasi manusia: 75 tahun M. Alwi Dahlan. Penerbit Buku Kompas.
Jakarta.
Hanafi, A. 1967.
Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Bulan Bintang. Jakarta.
Harjono, A. 1995.
Indonesia kita: pemikiran berwawasan iman-Islam. Gema Insani Press. Jakarta.
Hasbi, A. 2008. 125
Masalah Zakat. Tiga Serangkai. Solo.
Husaini, A. 2006. Wajah
peradaban Barat: dari hegemoni Kristen ke dominasi sekular-liberal. Gema
Insani. Jakarta.
Husaini, A. 2013.
Penistaan Martabat Perempuan. http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2013/05/06/3871/penistaan-martabat-perempuan.html.
Diakses tanggal 13 Oktober 2015.
Jaarullah,
Abdullah bin. 1993. Awas! Bahaya Lidah. Penerjemah : Abu Haidar dan Abu Fahmi.
Gema Insani Press. Jakarta.
Kiber, B. 2011. Beda
Tipis Antara Syahwat dan Cinta. http://www.kompasiana.com/banikiber/beda-tipis-antara-syahwat-dan-cinta_550a54b2a33311226a2e3d0c.
Diakses tanggal 13 Oktober 2015.
Mahmud, A. H. 2000.
Merajut Benag Ukhuwah Islamiyah. Era Entermedia. Solo.
Marsiya, M. 2012.
Kehormatan, Harga Diri, dan Kesombongan. http://www.kompasiana.com/metik/kehormatan-harga-diri-dan-kesombongan_5518d4ea81331137719de114.
Diakses tanggal 13 Oktober 2015.
Monib, M. dan I. Bahrawi. 2011. Islam & hak asasi manusia dalam pandangan
Nurcholish Madjid. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Mulianto, S., E.
R. Cahyadi, dan M. K. Widjajakusuma.
2006. Panduan Lengkap Supervisi Diperkaya Perspektif Syariah. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Munajat, M. 2004.
Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Logung Pustaka. Yogyakarta.
Muthahhari, M. 2007.
Manusia dan Agama : Membumikan Kitab Suci. PT Mizan Pustaka. Bandung.
Nimer, M. A. 2010. Nirkekerasan
dan Bina Damai dalam Islam : Teori dan
Praktik. Pustaka Alvabet. Jakarta.
Purwadi. 2006. Jejak
para wali dan ziarah spiritual Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Qardhawi, Y. 2000.
Halal dan Haram. Alih Bahasa Abu Sa’id al-Falabi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid.
Rabbani Press. Jakarta.
Qardhawi, Y. 2009.
Fiqih Jihad : Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut
Al-Qur’an dan Sunnah. Judul Asli : Fiqh Al-Jihaad : Diraasah Muqaaranah li
Ahkaamihi wa
Qumaihah, J.
1990. Alma Aridhotu fil Islam Baina Annadhoriyatu Wattatobiiku. Gema Insaini
Press. Jakarta.
Quthb, S. S. 2000.
Tafsir fi zhilalil qur’an. Di bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 1-10. Penerjemah
as’ad Yasin Abddul Salim Basyarahik dan Muchotob Hamzah. Gema Insani Press.
Jakarta.
Rachman, B. M. 2010.
Argumen Islam untuk Pluralisme. Grasindo. Jakarta.
Rahmat, M. I. 2003.
Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Erlangga. Jakarta.
Rais, D. 2001. Teori
Politik Islam. Gema Insani. Jakarta.
Salwasalsabila, S.
2008. Islam, Eropa, dan Logika. O2.
Yogyakarta.
Soetarman,
W. Sairin, dan I, Rakhmat. 1996. Fundamentalisme, agama-agama dan teknologi.
Cetakan ke-3. Gunung Mulia. Jakarta.
Sujoko,
A. 2009. Identitas Yesus dan Misteri Manusia. Kanisius. Yogyakarta.
Sya’rawi, M. M. 2007.
Anda Bertanya Islam Menjawab. Gema Insaini Press. Jakarta
Tasmara, T. H. 2000.
Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri. Gema Insani Press. Jakarta.
Tasmara, T. H. 2000.
Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri. Gema Insani Press. Jakarta.
Yakan. F. 1995.
Perjalanan Aktivis Gerakan Islam. Gema Insani Press. Jakarta
Yefrizawati. 2005. Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Islam. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1612/1/perdata-yefrizawati.pdf.
Diakses tanggal 15 Oktober 2015.
Yusuf, H. M. 1989.
Keluarga Muslim dan Tantangannya. Penerjemah : H. Salim Basyarahil. Gema Insani
Press. Jakarta.
0 komentar :
Post a Comment