PADANG
LAMUN : KENALI MANFAATNYA, LESTARIKAN KEBERADAANNYA
Salah
satu sumberdaya laut yang diakui memiliki peranan penting selain terumbu karang
dan mangrove adalah padang lamun (Arifin dan Jompa, 2005). Tetapi tidak seperti
ekosistem mangrove dan terumbu karang, perhatian dan pengetahuan masyarakat
umum tentang ekosistem padang lamun masih jauh tertinggal. Bahkan di kalangan
akademisi Indonesia pun topik lamun dan padang lamun baru mendapat perhatian
sejak tahun 2000-an (Nontji, 2010).
Hal
itu karena padang lamun masih dipandang semata sebagai “rerumputan yang tidak
berguna”. Sehingga terjadi degradasi. Degradasi padang lamun baik yang
ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun perubahan kondisi alam menyebabkan
penurunan produktivitas sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dikandungnya
(Sudiarta dan Restu, 2011).
Berkurangnya
produktivitas juga menyebabkan degradasi sumberdaya perikanan lainnya; dan
muaranya semakin memperbuuk ekonomi masyarakat pesisir, khususnya nelayan
(Sudiarta dan Restu, 2011). Tujuan tulisan ini adalah memberikan informasi
mengenai padang lamun dan permasalahan padang lamun, serta menyadarkan pembaca
tentang pentingnya eksistensi padang lamun khususnya bagi para Dugong.
Padang Lamun
Padang
lamun merupakan hamparan vegetasi yang luas dengan komponen penyusun utama
tumbuhan lamun. Tidak seperti umumnya flora yang hidup di laut yang tergolong
dalam kelompok tumbuhan tingkat rendah, tumbuhan lamun termasuk dalam kelompok tumbuhan
tingkat tinggi (Angiospermae;
Monokotil). Dari sekitar 50 spesies lamun yang telah diidentifikasi di seluruh
dunia, semuanya terbagi menjadi 2 famili, Potamogetonaceae (9 genus, 35 jenis)
dan Hydrocharitaceae (3 genus, 15 jenis). Dua familia tersebut dekat
hubungannya dengan kelompok tumbuhan jahe-jahean (Zingiberaceae). Dari seluruh jenis yang ada, dilaporkan 7-12 jenis
ditemukan di kawasan perairan Indonesia (Erftemeijer cit. Kusnadi et al.,
2008).
Padang
lamun adalah satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) yang mampu beradaptasi
secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di
dalam air dan memiliki rhizoma, daun dan akar sejati. Lamun umumnya hidup di
perairan dangkal sampai dengan kedalaman sekitar 4 meter (Nontji, 2005). Hampir
semua tipe substrat dapat ditumbuhi oleh lamun seperti pasir, lumpur dan
batuan. Namun padang lamun lebih sering ditemukan di perairan dengan substrat
lumpur berpasir tebal di antara ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang
(Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Lamun
dapat tumbuh secara luas berupa hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu
perairan pantai berupa satu jenis lamun (monospecific)
atau lebih (multispecific) dengan
kerapatan vegetasi yang padat atau jarang (Azkab, 2006). Di Indonesia padang
lamun merupakan ekosistem yang umum ditemukan tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut, habitatnya dapat berupa lumpur, pasir dan karang mati (Hutomo et al., 1992).
Lamun
merupakan salah satu sumber daya pesisir Indonesia yang bernilai ekologis dan
ekonomis. Padang lamun tergolong dalam ekosistem laut yang paling produktif dan
mempunyai peran penting dalam dinamika nutrien pesisir. Selain itu padang lamun
juga berhubungan dengan perolehan perikanan lokal, dan ekosistem tetangganya,
seperti terumbu karang (Goltenboth et al.
cit. Dewi, 2015). Ekosistem
lamun (seagrass) adalah satu
dari tiga ekosistem penting di
daerah pesisir dan pulau-pulau. Ekosistem lamun bersama ekosistem mangrove dan
terumbu karang merupakan penyangga (buffer) bagi kehidupan laut dan darat karena
berada di daerah peralihan laut dan darat (Kordi, 2011).
daerah pesisir dan pulau-pulau. Ekosistem lamun bersama ekosistem mangrove dan
terumbu karang merupakan penyangga (buffer) bagi kehidupan laut dan darat karena
berada di daerah peralihan laut dan darat (Kordi, 2011).
Lamun itu Penting
Lamun
cukup penting keberadaannya, khususnya di perairan laut dangkal. Lamun yang
membentuk padang lamun kemudian menjadi suatu ekosistem yang merupakan salah satu
ekosistem laut terkaya dan paling produktif, bila dibandingkan dengan
produktifitas dari hasil usaha pertanian tropis (Den Hartog cit. Azkab, 2006).
Sedangkan
bagi lingkungan sekitar, jasa ekosistem padang lamun memberikan manfaat sebagai
produsen primer, mendaur ulang zat hara, stabilisator dasar perairan, pemurnian
air dan perangkap sedimen. Bagi manusia yang tinggal di sekitar padang lamun,
jasa ekosistem padang lamun memberikan manfaat sebagai wahana rekreasi,
pendidikan, penelitian dan sebagai penyedia ikan-ikan yang memiliki nilai
ekonomi (Vo et al., 2012).
Sebagai
habitat yang ditumbuhi berbagai spesies lamun, padang lamun memberikan tempat
yang sangat strategis bagi perlindungan ikan-ikan kecil dari
"pengejaran" beberapa predator, juga tempat hidup dan mencari makan
bagi beberapa jenis udang dan kepiting. Padang lamun memiliki produktivitas
sekunder dan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan
(Gillanders, 2006).
Padang
lamun juga memberikan sumbangan terhadap produktivitas terumbu karang. Den
Hartog cit. Alhanif (1996)
memperkirakan bahwa serasah yang diproduksi oleh lamun diduga membantu
meningkatkan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton dan
zooplankton tersebut selanjutnya akan dimakan oleh karang dan segenap biota
pemakan atau penyaring yang hidup di habitat tersebut. Dengan demikian, energi
yang dikeluarkan oleh lamun ditransfer ke ekositem terumbu karang.
Padang
lamun dapat menyimpan karbon 35 kali lebih cepat dibandingkan hutan hujan
tropis, dan dapat mengikat karbon dalam waktu ribuan tahun (Nellemann et al., 2009; Macreadie et al., 2014). Selain itu, ekosistem
lamun dapat menangkap sekitar 70% dari karbon organik total yang berada di laut
(Nellemann et al., 2009). Potensi
padang lamun dalam menyimpan karbon (carbon
sequestration) merupakan bukti penting yang menunjukkan kemampuan lamun
dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan menyerap dan menyimpan karbon maka emisi
karbon di lingkungan bisa dikurangi sehingga mengurangi laju pemanasan global
yang menjadi penyebab utama perubahan iklim global. Karbon yang tersimpan ini
kemudian akan berkontribusi dalam menambah cadangan karbon di padang lamun
berupa standing stock (Irawan, 2017).
Kegiatan yang Merusak
Permasalahan
utama yang memengaruhi padang lamun di seluruh dunia adalah kerusakan akibat
kegiatan pengerukan dan penimbunan yang terus meluas dan pencemaran air
termasuk pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinasi dan fasilitas-fasilitas
produk minyak, pemasukan pencemaran di sekitar fasilitas industri, dan limbah
air panas dari pembangkit tenaga listrik. Kehilangan padang lamun juga
diindikasikan oleh hilangnya biota laut, terutama diakibatkan oleh kerusakan
habitat (Kordi, 2008).
Bagiamana
dengan lamun di Indonesia ? Tomascik et
al. (1997) menyebutkan bahwa kerusakan lamun di perairan Indonesia berasal
dari: (1) aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan peningkatan jumlah
penduduk, (2) eutrofikasi, (3) pembuangan limbah industri, (4) aquakultur dan
(5) over fishing. Kiswara et al. (1994) menyebutkan kerusakan
lamun di Teluk Gerupuk dan pantai Kute (Lombok Selatan) disebabkan oleh
masyarakat yang memanfaatkan areal lamun dengan menggunakan alat yang tidak ramah
lingkungan.
Selanjutnya,
kerusakan beberapa jenis lamun seperti jenis Syringodium isoetifolium dan Enhalus
acoroides telah terjadi di Kepulauan Seribu, Pulau Pari dan Teluk Banten
yang disebabkan oleh kekeruhan air akibat perputuran perahu nelayan (Kiswara
1999). Lebih lanjut disebutkan bahwa pada tegakan tunggal dari jenis Enhalus acoroides, dan tegakan
campuran dari jenis Cymodocea serrulata,
Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila uninervis dan Halophila ovalis telah hilang seluas 25
ha akibat reklamsi pantai di Teluk Banten.
Kerusakan
lamun ini akan menghilangkan beberapa fungsi yang bermanfaat bagi biota laut
lainnya. Sebagai tumbuhan autrotrofik, lamun mengikat karbondioksida (CO2)
sebesar 394-449 gram karbon per meter persegi per tahun. Lamun juga berfungsi
sebagai habitat hewan laut. Bahkan, penyu dan dugong menjadikan lamun sebagai
bahan makanan utamanya. Fungsi lainnya, lamun dapat menjaga kualitas air.
Struktur lamun bisa menjadi penjebak bagi sedimen yang membuat air menjadi lebih
jernih. Lamun juga dapat menahan gelombang air dan membatu menahan erosi pantai
(Putra, 2017).
Untuk Para Dugong
Duyung
(Dugong) semakin terancam setelah padang lamun, area utamanya mencari makan,
ikut tergerus. Pembangunan wilayah pesisir di Bintan membuat padang lamun
terpinggiran. Ini karena gerak reklamasi semakin masif. Reklamasi menjadi niscaya
lantaran butuh pengembangan bandara di Busung. Juga untuk pengembangan wisata
Lagoi Tresure Bay dan kawasan Trikora.
Belum lagi untuk pendalaman alur laut di bakal pelabuhan internasional
di Desa Berakit. Dari kasus ini saja, sebanyak dua hektare padang lamun harus
direlakan hilang (Yusuf, 2018). Rusaknya padang lamun merupakan berita duka
bagi keberlangsungan hidup dugong (Kiswara, 2016).
Satwa
yang sering ditemui di habitat padang lamun ini dilindungi berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Dugong juga menjadi prioritas
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia. Di mata dunia pun
dugong termasuk dalam Daftar Merah IUCN (the International Union on
Conservation of Nature) sebagai satwa yang “rentan terhadap kepunahan” (Nugrahani, 2017). Dugong juga masuk dalam Apendiks I
CITES (the Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), sehingga dugong
merupakan satwa yang dilindungi penuh dan tidak dapat diperdagangkan atau
dimanfaatkan dalam bentuk apapun (Dirhamsyah, 2017).
Dugong
memiliki ancaman kehidupan yang begitu komplek. Secara alami Dugong memiliki
reproduksi yang lambat, dimana membutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi dewasa
dan memerlukan waktu 14 bulan untuk melahirkan satu individu baru pada interval
2,5 - 5 tahun. Ancaman lainnya yaitu tertangkapnya Dugong secara tidak sengaja
oleh alat tangkap perikanan (bycatch), perburuan masif untuk pemanfaatan
daging, taring serta air mata Dugong yang disinyalir memiliki nilai ekonomi
yang cukup tinggi (WWF-Indonesia, 2017). Akibatnya populasi Dugong semakin
menurun.
Semakin
sedikitnya populasi dugong (Dugong dugon)
di perairan Indonesia, “memaksa” Pemerintah Indonesia untuk semakin
meningkatkan perhatian untuk menyelamatkan mamalia laut tersebut. Untuk itu,
Indonesia bergabung dengan Madagaskar, Malaysia, Mozambik, Sri Lanka, Timor
Leste, dan Vanuatu dalam proyek Dugong and Seagrass Conservation Project
(DSCP). DSCP adalah proyek regional Global Environtment Facility (GEF) yang
diinisiasi bersama United Nation Environment Programme – Convention on the
Conservation of Migratory Species (UNEP-CMS) bekerjasama dengan Mohammed bin
Zayed Species Conservation Fund (MbZ) (Ambari, 2017).
DSCP
Indonesia akan diimplementasikan di 4 lokasi, yaitu Bintan-Kepulauan Riau,
Alor-Nusa Tenggara Timur, Kotawaringin Barat-Kalimantan Tengah, dan
Tolitoli-Sulawesi Tengah. Peserta udangan dari keempat lokasi akan hadir dalam
pelatihan nasional di Toli-toli, Sulawesi tengah nanti (Dirhamsyah, 2017).
Pelestarian
dugong atau duyung penting bukan hanya untuk dugong itu sendiri, melainkan juga
untuk kelangsungan ekosistem lamun tempat hidupnya sekaligus kepentingan
manusia (Kiswara, 2016). Untuk itu sudah saatnya kita melakukan aksi kepedulian
sosial dengan menghindari membuang sampah sembarangan ke sungai atau ke laut,
menyebarkan kebaikan dengan memberikan informasi lewat media sosial, tulisan,
bahkan kepada masyarakat pesisir pantai agar melestarikan tumbuhan lamun dan
tidak memburu serta mengganggu dugong adalah wujud nyata dalam upaya
melestarikan dugong dan lamun, sebab dugong dan padang lamun ini bagaikan dua
mata rantai yang tidak terpisahkan. Bisa dibayangkan, tanpa lamun bagaimana kehidupan
dugong? (Oloan, 2018).
Anugerah yang Berharga - #DuyungmeLamun
Sumber
daya pantai seperti lamun merupakan anugerah alam yang sangat berharga bagi
makhluk hidup yang perlu dikelola dan dikembangkan secara baik untuk
kepentingan saat ini dan dimasa yang akan datang (Suherlan et al., 2016). Keberadaan ekosistem Padang Lamun bisa lebih dijaga
lagi oleh pemerintah dan dioptimalkan pemanfaatannya bagi kehidupan ekosistem
laut dan juga masyarakat. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan
laut yang paling produktif dan memiliki peran penting (Supriyadi, 2016).
Akar
masalah perusakan padang lamun antara lain karena ketidak-tahuan masyarakat,
kemiskinan, keserakahan, lemahnya perundangan dan penegakan hukum. Oleh karena
itu pengelolaan padang lamun harus mengatasi masalah mendasar itu dalam upaya
rehabilitasi padang lamun (Rochmady, 2010).
Rehabilitasi
padang lamun dapat di lakukan dengan dua pendekatan yakni: rehabilitasi lunak
dan rehabilitasi keras. Rehabilitasi lunak lebih ditekankan pada pengendalian
perilaku manusia yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan, misalnya melalui
kampanye penyadaran masyarakat (public awareness), pendidikan, pengembangan
mata pencaharian alternatif, pengembangan Daerah Perlindungan Padang Lamun,
pengembangan peraturan dan perundangan, dan penegakan hukum secara konsisten.
Rehabilitasi keras mencakup kegiatan rehabilitasi langsung di lapangan seperti
transplantasi lamun (Rochmady, 2010). Kegiatan transplantasi lamun ini dapat
dilakukan oleh masyarakat dan menjadi program eko-eduwisata (Dirhamsyah, 2017).
Kemudian
untuk penyelamatan duyung dan habitatnya harus dilakukan melalui penguatan
konservasi, peningkatan kesadartahuan dan penelitian soal duyung, serta
pengelolaan konservasi berbasis masyarakat. Untuk konservasi, kita harus
memberikan impact pada masyarakat. Sebenarnya, masyarakat sudah tahu duyung
satwa dilindungi. Untuk menopang kesiapan masyarakat pesisir terlibat dalam
konservasi dugong, bisa dilakukan dengan merilis potensi sumber mata pencaharian
alternatif yang bisa dilakukan masyarakat (Baskoro, 2018).
Terakhir. Melestarikan
duyung, menjaga padang lamun, solusi terbaik melestarikan duyung untuk anak
cucu kita. Menjaga simbiosis mutualisme flora dan fauna adalah tugas kita
bersama, maka dari itu mari kita sebarkan fungsi lamun bagi duyung dan fungsi
duyung bagi kehidupan kita. Tanpa duyung bagaimana ekosistem laut? Akankah kita
mau duyung tinggal cerita legenda bagi anak cucu kita? Tentu tidak. Tugas kita
bersama menjaga dan menyebarkan berita ini (Oloan, 2018).
Artikel ini diikutkan kontes #DuyungmeLamun Lomba Menulis Blog Bertemakan ”Padang Lamun: Rumah
Mereka, Untuk Kita”
Daftar
Pustaka
Alhanif,
R. 1996. Struktur Komunitas Lamun dan Kepadatan Perifiton pada Padang Lamun di
Perairan Pesisir Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Propinsi Bali. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Arifin
dan J. Jompa. 2005. Studi Kondisi dan Potensi Ekosistem Padang Lamun sebagai
Daerah Asuhan Biota Laut. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 12 (2): 73-79
Azkab,
M. H. 2006. Ada Apa dengan Lamun. Oseana 31 (3): 45 – 55.
Baskoro,
N. B. 2018. Habitat Duyung di Perairan Selatan Kalimantan Makin Terancam. < https://regional.kompas.com/read/2018/04/03/22181881/habitat-duyung-di-perairan-selatan-kalimantan-makin-terancam>.
Diakses tanggal 29 Mei 2018.
Dewi,
N. K. dan S. A. Prabowo. 2015. Status Padang Lamun Pantai-Pantai Wisata di
Pacitan. BIOGENESIS 3 (1) : 53-59.
Dirhamsyah.
2017. Terumbu Karang dan Padang Lamun Indonesia Masih dalam Kondisi Kurang Baik.< http://lipi.go.id/berita/terumbu-karang-dan-padang-lamun-indonesia-masih-dalam-kondisi-kurang-baik/18432>.
Diakses tanggal 31 Mei 2018.
Gillanders,. BM. 2006. Seagrasses, Fish and Fisheries. In:
Larkum AWD, Orth RJ, Duarte M (eds.). Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation.
Springer, Netherlands. Chapter (21) p. 503-530.
Hutomo,
M., W. Kiswara dan M. H.Azkab. 1992. Status dan Khasanah Pengetahuan Ekosistem
Lamun di Indonesia. Prosiding. Lokakarya Nasional Penyusunan Penelitian Biologi
Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir : 92-114.
Irawan,
A. 2017. Potensi Cadangan dan Serapan Karbon oleh Padang Lamun di bagian Utara
dan Timur Pulau Bintan. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2 (3) :
35-48.
Kordi,
M. G. H. K. 2008. Budidaya Perairan Buku
Kesatu.Citra Aditya Bakti. Bandung.
Kusnadi,
A., T. Triandiza, dan U. E. Hernawan. 2008.
B I O D I V E R S I T A S 9 (1) :
30-34.
Macreadie,
P. I., M. E. Baird, S. M. TrevathanTackett, A. W. D. Larkum, and P. J. Ralph.
2014. Quantifying And Modelling The Carbon Sequestration Capacity of Seagrass
Meadows – A Critical Assessment. Marine Pollution Bulletin 83(2 ):4 30–439.
Nellemann,
C., E. Corcoran, C. M. Duarte, L. Valdes, C. De Young, L. Fonseca, and G. D.
Grimsditch, editors. 2009. Blue Carbon: The Role of Healthy Oceans in Binding
Carbon: a Rapid Response Assessment. GRID-Arendal. Arendal.Norway.
Nontji,
A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan Keempat. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Nontji,
A. 2010. Pengelolaan Padang Lamun Pembelajaran dari Proyek TRISMADES. Prosiding
Seminar Nasional Biologi Akuatik UNSOED : 12-19.
Oloan,
A. 2018. Menjaga Padang Lamun, Melestarikan Rumah Duyung Demi Anak Cucu Kita.< https://www.kompasiana.com/agus_oloan/5afb6d87cf01b475a05be364/menjaga-padang-lamun-melestarikan-rumah-duyung-demi-anak-cucu-kita>.
Diakses tanggal 29 Mei 2018.
Rochmady.
2010. Rehabilitasi Ekosistem Padang Lamun. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Romimohtarto,
K. dan S. Juwana. 2001. Biolog Laut : Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut. Penerbit
Djambatan. Jakarta.
Sudiarta,
I. K. dan I. W Restu. 2011. Kondisi dan Strategi Pengelolaan Komunitas Padang
Lamun di Wilayah Pesisir Kota Denpasar, Provinsi Bali. Jurnal Bumi Lestari Vol.
11 No. 2 : 195-207.
Suherlan,
D. Oetama, dan H. Arami. 2016. Keragaman jenis lamun di Perairan Pantai Waha
Kecamatan Tomia Kabupaten Wakatobi. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan 1 (3)
: 311-321.
Supriyadi,
I. H. 2016. Miliki 25.742 Hektare Padang Lamun, Indonesia Harus Jaga dan
Optimalkan. < http://lipi.go.id/berita/miliki-25.742-hektare-padang-lamun-indonesia-harus-jaga-dan-optimalkan/15025>.
Diakses tanggal 31 Mei 2018.
Vo,
Q.T, C. Kuenzer, Q.M. Vo, F. Moder and N. Oppelt.2012. Review of Valuation
Methods for Mangrove Ecosystem Services. Ecol. Indicat. 230 : 431-446.
0 komentar :
Post a Comment