Busana adat Jawa merupakan salah satu model pakaian adat yang penuh filosofis kehidupan. Busana adat Jawa atau orang bilang busana kejawen penuh dengan piwulang sinandhi, kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofi Jawa (Kejawen).
Ajaran dalam busana kejawen ini merupakan
ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini secara harmoni yang
berkaitan dengan aktifitas sehari – hari, baik dalam hubungannya dengan
sesama manusia, dengan diri sendiri, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa
pencipta segala sesuatu dimuka bumi ini. Dan khusus untuk pakaian adat
pria ini kurang lebih terdiri dari Blangkon, Surjan/beskap, Keris, Kain
Jarik (Kain Samping), sabuk sindur dan canela/cemila/selop.
Penggunaan
pakaian adat yang sekarang ini sudah jarang dilakukan atau hanya
sekedar pada saat ada hajatan saja, berakibat pengetahuan tentang tata
cara pemakaian pakaian adat menjadi semakin minim. Terlebih lagi
kebanykan dari masyarakat sudah jarang yang memiliki sendiri seperangkat
pakaian adat.
Di kota besar seperti Jakarta ini mungkin masih
banyak warga keturunan Jawa yang masih bingung atau bahkan tidak tahu
ada perbedaan antara pakaian adat Yogya dengan pakaian adat Solo.
Sedangkan alasan kenapa harus berbeda? Bukankah kota Yogya dan Solo itu
dekat, bukankah kota Yogya dan Solo itu sama-sama suku Jawa, bukankah
dulunya Yogya dan Solo itu satu kerajaan? Dan masih banyak lagi
pertanyaan yang orang awam mungkin tidak tahu bahkan penulis pun hanya
sedikit mengetahui kenapa pakaian adatnya berbeda ?
Penulis
sering menghadiri pesta pernikahan adat Jawa yang diselenggarakan di
Jakarta, dari yang sederhana sampai yach lumayan rumit bahkan terkesan
diada-adakan dengan dalih filosofis Jawa dengan kreasi mereka sendiri.
Tetapi itu hak mereka untuk menyajikan pesta pernikahan sebagai sebuah
karya seni minimal untuk dinikmati keluarga sendiri. Namun kadang masih
bisa ditemukan beberapa orang memakai pakaian adat gado-gado, yaitu
dicampur antara gaya Yogya dengan gaya Solo, bahkan bisa jadi bagi yang
bingung dipadukan dengan gaya Cirebonan atau Sunda baju takwa yang
memang mirip antara satu dan lainnya.
Perbedaan pakaian adat
gaya Yogya dengan gaya Surakarta berdasarkan cerita yang berkembang di
masyarakat Yogya dan Solo sekitarnya, bahwa perbedaan tersebut merupakan
buah politik akibat pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua yakni
Kasultanan Ngayogyakarta dengan Rajanya Sri Sultan Hamengkubuwono dan
Kasunanan Surakarta dengan Rajanya Sri Pakubuwono. Ranah politik dapat
mengakar kemasyarakat karena di dalam system kerajaan nilai loyalitas
kepada Sang Raja itu tinggi sekali, hal ini juga terbukti sampai kepada
hiburan rakyat semisal gaya pewayangan antara Yogya dan Solo juga turut
berbeda.
Kembali ke masalah perangkat pakaian adat pria Jawa
khususnya Yogya dan Solo, banyak warga keturunan Jawa dalam memilih atau
menyewa pakaian adat sering tidak tahu atau bahkan sengaja
mengkombinasi gaya pakaian adat Yogya dan Solo, misalnya blangkon pakai
Yogya dan pakaian pakai Solo keris pakai gaya Madura dan lain
sebagainya.
SURJAN
Pakaian adat pria ini merupakan
pakaian adat model Yogyakarta walaupun konon katannya Surjan merupakan
pakaian khas dari kerajaan Mataram sebelum terpecah menjadi dua,
Surakarta dan Yogyakarta. Surjan awalnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga
yang diinspirasi oleh model pakaian pada waktu itu dan selanjutnya
digunakan oleh Mataram. Dengan pecahnya Mataram menjadi dua, maka asset
kerajaan pun dibagi dua dan kebetulan model seragam kerajaan Mataram
jatuh ke kraton Yogyakarta. Kraton Surakarta yang tidak mempunyai ciri
khas busana akhirnya menciptakan sendiri pakaian khasnya yaitu Beskap.
Surjan sendiri terdapat dua jenis yaitu surjan lurik dan surjan Ontrokusuma, dikatakan Surjan lurik karena bermotif garis-garis, sedangkan Surjan Ontrokusuma karena bermotif bunga (kusuma).
Jenis
dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukan kain
polos ataupun kain lurik buatan dalam negeri saja, namun untuk surjan
Ontrokusuma terbuat dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam
bunga.
Surjan ontrokusuma hanya khusus sebagai pakaian para
bangsawan Mataram, sedangkan pakaian seragam bagi aparat kerajaan hingga
prajurit, surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam negeri,
dengan motif lurik (garis-garis lurus). Untuk membedakan jenjang
jabatan/kedudukan pemakainya, ditandai atau dibedakan dari
besar-kecilnya motif lurik, warna dasar kain lurik dan warna-warni
luriknya. Semakin besar luriknya berarti semakin tinggi jabatannya; atau
semakin kecil luriknya berarti semakin rendah jabatannya. Demikian pula
warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan menunjukkan pangkat
(derajat/martabat) sesuai gelar kebangsawanannya.
Pemakaian Surjan ini dikombinasikan dengan tutup kepala atau Blangkon dengan “mondolan”
di belakangnya. Dahulu pada jaman kerajaan mondolan ini difungsikan
untuk menyimpan rambut pria yang panjang biar kelihatan rapi.
BESKAP
Nah
pakaian adat pria ini merupakan pakaian adat gaya Surakarta, bentuknya
seperti jas didesain sendiri oleh orang Belanda yang berasal dari kata beschaafd yang berarti civilized
atau berkebudayaan. Warna yang lazim dari beskap biasanya hitam,
walaupun warna lain seperti putih atau coklat juga tidak jarang
digunakan.
Selain beskap, ada lagi pakaian adat pria gaya
Surakarta ini yaitu Atela. Perbedaan antara keduanya yang mudah dilihat
dari pemasangan kancing baju. Pada beskap, kancing baju terpasang di kanan dan kiri, sementara pada atela, kancing baju terpasang di tengah dari kerah leher ke bawah.
Di bawah ini ada beberapa gambar yang dapat membantu Anda membedakan gaya pakaian adat pria Yogya (Kiri) dan Solo (Kanan).
*Sumber*
0 komentar :
Post a Comment