BERSAMA
MASYARAKAT MELESTARIKAN DAN MERESTORASI LAHAN
GAMBUT #PANTAUGAMBUT
Perlu
melibatkan masyarakat
Partisipasi masyarakat terhadap sesuatu kegiatan terutama
yang terkait dengan pengelolaan lingkungan sangat penting. Hal ini disebabkan
karena masyarakatlah yang secara langsung berhubungan dengan eksploitasi
lingkungan tersebut. Beberapa kegiatan rehabilitasi lingkungan yang terlalu
menekankan upaya-upaya perbaikan lingkungan tanpa melibatkan masyarakat banyak
mengalami kegagalan (Firmansyah et al.,
2014). Oleh sebab itu, keterlibatan masyarakat perlu menjadi perhatian dalam
penyusunan rencana pelaksanaan restorasi gambut agar pelaksanaannya tepat
sasaran. Restorasi gambut perlu berjalan atas dasar antisipasi dampak sosial,
ekonomi, lingkungan, yang tidak diinginkan masyarakat. Persetujuan masyarakat terhadap rencana dan
pelaksanaan restorasi adalah hal utama yang harus dipenuhi (Kristo dan
Melano, 2017).
Kelembagaan
yang ada di masyarakat seperti kelompok tani atau kelompok peladang tradisional
yang bermukim dalam hutan-hutan gambut atau sekitar hutan dapat dilibatkan
dalam penanganan konsentrasi sumber daya hutan. Kelembagaan tersebut selain
dapat menjadi wahana informasi dan pengetahuan, juga dapat dijadikan wahana
untuk memasyaraktkan pentingnya pelestarian lingkungan. Kesiagaan dalam
menghadapi kemarau, misalnya untuk menghindari kebakaran lahan/hutan dapat
dilaksanakan dengan melibatkan para petani dan peladang tradisional. Tanpa
kerja sama yang baik, maka upaya aparat (pemerintah) daam penganganan kebakaran
lahan/hutan dirasakan terlalu berat dan sukar. Peraturan daerah dan desa
setempat tentang larangan membakar hutan/lahan gambut yang mengikat perlu
dimasyarakatkan, termasuk larangan merambah kawasan lindung. Sanksi hukum bagi
yang melanggar harus diberlakukan dengan adil dan bijak. Sanksi masyarakat atau
sanksi moral yang digali dari adat setempat barangkali akan lebih ditaati (Noor,
2001).
Jaminan
sosial, ekonomi, dan budaya
Dukungan
masyarakat dalam mewujudkan restorasi gambut di Indonesia sangatlah penting.
Namun masyarakat juga butuh jaminan sosial, ekonomi, dan budaya guna mendukung
upaya tersebut (Wijaya, 2017). Masyarakat adalah garda terdepan. Jadi mereka
harus terlibat aktif didalam kegiatan restorasi gambut. Bagaimana mereka
terlibat aktif ? Harus ada insentif. Insentifnya apa ? Insentifnya adalah bahwa
mereka sah berada disitu, tidak diusir dan kehidupan ekonominya harus meningkat
(Anonim, 2017).
Program
Restorasi dan pantau gambut perlu partsipasi masyarakat. Sumatera, Kalimantan,
dan Papua tentunya berbeda dalam sosial, ekonomi, dan budaya
Unsur
keseimbangan alam, keberlanjutan lingkungan, serta keanekaragaman hayati yang
mesti dipelihara, bagi mereka adalah persoalan masa mendatang. Sementara kebutuhan
hidup bagi mereka adalah saat sekarang yang tidak bisa ditunda. Kondisi sosial-ekonomi
saat ini telah memaksa masyarakat untuk semaksimal mungkin memanfaatkan Sumber
Daya Alam di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Kegiatan yang
mengarah pada perlindungan terhadap rawa gambut tidak popular bagi telinga
mereka, karena dianggap tidak langsung memberikan manfaat ekonomi. Akhirnya unsur
konservasi alam dapat dikatakan sangat jauh dari pola piker masyarakat
pinggiran hutan/rawa gambut (Suyanto et
al., 2003).
Bukan
sekadar pohon yang tumbuh di hutan dan bukan juga sekadar keberadaan orangutan
atau Probiscis yang tinggal di dalamnya atau aliran sungai yang membelah kehijauan
alam yang membuat tiap bentang alam lahan gambut unik. Setiap ekosistem lahangambut juga memiliki identitas dari masyarakat yang menjadikannya rumah. Meski
lokasinya terpencil, masyarakat tersebut terdampak langsung oleh perubahan
pasar global. Kebutuhan mengunyah permen karet di Jepang, misalnya, dapat
mengubah pilihan pemanfaatan petak lahan para petani di Kalimantan Tengah.
Peningkatan penggunaan krim tubuh bisa menebalkan dompet petani di Sumatera. Pasti
ada timbal balik antara kebutuhan ekologi dan lingkungan melawan kebutuhan
sosial dan ekonomi (Lipton, 2017).
Oleh
sebab itu, kegiatan restorasi gambut selain mengembalikan ekologi gambut, juga
harus memperhatikan ekologi tanaman yang bisa tumbuh di lahan gambut basah,
serta bernilai ekonomi. Masyarakat sekitar atau sektor swasta yang ingin
terlibat dalam kegiatan restorasi lahan gambut ini sebaiknya menanam tanaman
yang hasilnya bisa dipanen (Kaboki, 2016).
Pemberdayaan
ekonomi masyarakat
Kerusakan
hutan dan lahan gambut sebenarnya bukan semata-mata masalah internasional, akan
tetapi merupakan masalah yang juga sangat berpengaruh kepada penduduk lokal. Pembukaan
hutan gambut menyebabkan subsiden yang berpotensi menyebabkan daerah
sekelilingnya rentan akan kebanjiran dan kebakaran. Dengan demikian
perlu dihindari penggunaan
lahan gambut melalui
cara-cara yang dapat
mempercepat emisi gas rumah kaca, misalnya
penanaman tanaman yang
memerlukan drainase dalam
atau pembakaran seresah di atas
lahan gambut (Agus dan Subiksa, 2008).
Perubahan
cara pengelolaan atau sistem penggunaan lahan
kemungkinan memerlukan tambahan
biaya atau menurunkan
tingkat keuntungan finansial.
Untuk itu diperlukan insentif di
tingkat lokal untuk merubah sistem
pertanian tersebut. Petani tradisional/masyarakat menggunakan abu hasil pembakaran gambut untuk
meningkatkan kesuburan tanah. Untuk
mengendalikan cara yang
merusak gambut dan
lingkungan ini, dapat
diberikan insentif, misalnya
dalam bentuk subsidi
pupuk yang disertai
dengan teknologi pengelolaan kesuburan tanah. Insentif agar petani/masyarakat lebih memilih
bertanam karet yang lebih rendah tingkat emisinya dibandingkan
dengan bertanam kelapa
sawit dapat diberikan,
misalnya dalam bentuk
penyediaan bibit karet
’clone’ unggul dan
penyederhanaan sistem pemasaran sehingga harga jual di tingkat
petani lebih tinggi (Agus dan Subiksa, 2008).
Selain itu, insetif untuk pengembagan kesejahteraan hidup mereka juga
dapat diberikan dalam bentuk ternak, ikan, dan pengembangan kerajinan. Tetapi
dengan sebagai balas jasa atas insentif/bantuan
tersebut masyarakat/petani mempunyai kewajiban untuk terlibat aktif
dalam kegiatan restorasi (Adinugroho et
al., 2005).
Kegiatan
pemberdayaan masyarakat seperti contoh di atas merupakan kegiatan pertama yang
dilakukan. Hal ini merupakan strategi utama, agar perbaikan lingkungan dipahami
dan didukung oleh masyarakat. (Firmansyah et
al., 2014). Memang upaya ini
membutuhkan waktu dan ketekunan tersendiri bagi masyarakat dan pendampingnya.
Tidak dapat diambil hasilnya dengan cepat. Tetapi jika sudah berhasil, ini akan
berkelanjutan, sehingga masyarakat tidak harus merusak gambut untuk mendapatkan
sumber pendapatan (Wijaya, 2017).
Tetap
butuh kerjasama dan dukungan banyak pihak
Potensi
ancaman kerusakan ekosistem gambut sangat tinggi, dimana ancaman terbesar
datang dari perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin eksploitasi dan izin
perusahaan, baik pengusahaan hutan alam, maupun pertambangan, pertanian dan
perkebunan berada di atas gambut. Pengamanan potensi gambut dari ancaman
kebakaran hendaknya dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan masyarakat
adat melalui program pemberdayaan kampung peduli gambut yang dapat menekan laju
kerusakan dan mencegah emisi karbon lahan gambut. Untuk itu, upaya restorasi gambut memerlukan
kerjasama dan dukungan banyak pihak. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, pelaku usaha, akademisi, kelembagaan adat, kelompok masyarakat sipil,
dan masyarakat secara keseluruhan (Loen, 2017).
Salah
satu prasyarat untuk komitmen jangka panjang adalah adanya Sustainable Funding. Dana tersebut nantinya digunakan untuk
mendukung rencana pembangunan strategis provinsi terkait dengan mata
pencaharian dan kesejahteraan rakyat, perubahan iklim (mitigasi,
adaptasi/ketahanan dan energi terbarukan), pengelolaan lansekap berkelanjutan,
jasa lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi ekosistem (Ratya, 2017).
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho,
W. C., I. N. N. Suryadiputra, B. H. Saharjo, dan L. Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambut : Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia.. Wetlands
International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Indonesia.
Agus,
F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan
Gambut: Potensi untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai
Penelitian Tanah dan
World Agroforestry Centre
(ICRAF). Bogor. Indonesia.
Anonim.
2017. Libatkan Masyarakat dalam Program Badan Restorasi Gambut. <http://borneoclimatechange.org/berita-1199-libatkan-masyarakat-dalam-program-badan-restorasi-gambut.html>. Diakses
tanggal 18 Juli 2017.
Firmansyah,
M. A., W. A. Nugroho, A. Anto, A. Bhermana, dan M. S. Mokhtar. Pengelolaan
Lahan Gambut Terdegradasi melalui Inovasi Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat.
Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Kaboki.
2016. Minta Restorasi Gambut Sejahterakan Masyarakat. <http://www.kaboki.go.id/index.php/component/k2/item/625-minta-restorasi-gambut-sejahterakan-masyarakat>. Diakses
tanggal 18 Juli 2017.
Kristo,
R. dan S. Melano. 2017. Empat Wilayah Kalbar Jadi Fokus Restorasi Gambut. <http://pontianak.tribunnews.com/2017/04/19/empat-wilayah-kalbar-jadi-fokus-restorasi-gambut>. Diakses
tanggal 18 Juli 2017.
Lipton,
G. 2017. Mendalami Kehidupan Masyarakat Lahan Gambut. <http://blog.cifor.org/50369/mendalami-kehidupan-masyarakat-lahan-gambut?fnl=id>. Diakses
tanggal 18 Juli 2017.
Loen,
A. 2017. Elia Loupatty : restorasi gambut perlu ada kesepahaman. <http://tabloidjubi.com/artikel-7671-elia-loupatty--restorasi-gambut-perlu-ada-kesepahaman.html>. Diakses
tanggal 18 Juli 2017.
Noor,
M. 2001. Pertanian Lahan Gambut : Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta.
Ratya,
M. P. 2017. Restorasi Gambut di Wilayah Sumsel Akan Dipercepat. <https://news.detik.com/berita/d-3549447/restorasi-gambut-di-wilayah-sumsel-akan-dipercepat>. Diakses
tanggal 18 Juli 2017.
Suyanto,
S., U. Chokkalingam , dan P. Wibowo.
2003. Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. CIFOR.
Jakarta.
Wijaya,
T. 2017. Jamin Ekonomi Masyarakat, Tim Restorasi Gambut Sumsel Kembangkan Purun
dan Potensi Kerbau Rawa. <http://www.mongabay.co.id/2017/06/24/jamin-ekonomi-masyarakat-tim-restorasi-gambut-sumsel-kembangkan-purun-dan-potensi-kerbau-rawa/>. Diakses
tanggal 18 Juli 2017.
0 komentar :
Post a Comment